Laman

Sabtu, 31 Desember 2011

Kartu Kredit : Hadiah Tahun Baru? (Sebuah Refleksi Akhir Tahun)



            Hari terakhir menjelang liburan, mendadak aku dihadiahi dua buah kartu kredit dari bank penerbit yang berbeda. Rasa senang, bangga dan bingung bersemi di dalam hati. Senang karena bisa menghadirkan apapun yang terlewat dalam benakku, rasa bangga berangkat dari kepercayaan bank terhadap reputasi dan kemampuan financialku, sedangkan perasaan bingung sedang kuajak kompromi agar tidak menganggu rasaa efori yang berlebihan dan tengah membuncah ini. Sejatinya bingung itu berasal dari pikiran betapa mudahnya sebuah bank merekomendasikan kartunya dengan limit besar dan bertubi-tubi.
Seminggu sebelumnya dua kartu kredit berlogo master dan visa dari penerbit yang sama telah lebih dulu bersemayam di dompet kulitku. Jadilah dompetku penuh dengan sepuluh kartu kredit dan menyita habis ruang selipan kartu dan menjadikan dompetku setebal telapak tangan. Iseng-iseng kuhitung-hitung jumlah kredit kartu plastik ajaib itu yang bila digabungkan nilai kreditnya aku akan tercengang sendirian, hampir dua ratus juta. Pagu kredit yang cukup fantastis bila dikomparasikan dengan penghasilanku yang berkisar kurang dari sepuluh persennya. Cengiran mulutku hanya kunikmati sendiri bercampur decak kagum dan sedikit gelengan kepala. Luar biasa! Berapalah kemampuanku sebenarnya bila pemakaian kartu ajaib itu telah tersentuh batas maksimalnya, mungkin butuh sepuluh tahun bak kredit cicilan rumah. Lupakanlah, bisik egoku liar. Aku hanya butuh keberanian menggeseknya tanpa perlu pikir panjang.
            Anganku langsung melayang tanpa bisa dicegah. Mataku membaca cepat katalog belanja, tanganku mahir meraih barang-barang kepuasan  hati via belanja on line. Alangkah bahagia dan mudahnya hidup ini menyelesaikan persoalan hidup dengan sekali sentuh dan aku tersenyum seharian tanpa merasa pegal dengan bibirku. Berbagai kesenangan bisa diraih dengan sekali klik saja. Oh, aku meneliti jam tangan bermerek internasional, menelusuri baju berlogo keangkuhan, atau membayangkan membopong tas-tas mahal berlambang para dewa, hingga legerie yang menggoda dengan warna transparan dan begitu seksi berkeliaran di padanganku. Pastilah aku jadi ratu sejagat dengan setelan mewah, jam tangan, perhiasan dan berbagai asesoris yang sesuai dan sedang in. Pupil mata setiap orang akan terbelalak dengan sulap penampilan bak selebtritis. Sapuan pandangan metropolis dan pandangan tidak percaya akan terpancar pudar dengan sendirinya.
            Ingatanku melayang pada ucapan seorang teman. “Seorang gadis muda tak perlu barang merek, atau dandanan tebal, biarkan cahaya muda memancar dan orang akan jatuh hati karena aura muda dan cantikmu. Mereka kurang tertarik dengan benda-benda yang kau pakai. Namun bila usiamu telah berkepala tiga atau empat, kau membutuhkan benda-benda itu untuk menciptakan aura cahaya pada wajahmu.” Aku memikirkannya sejenak dan meyakinkan diri aku akan menciptakan aura wajahku yang bercahaya dengan barang-barang mewah itu.
            Tahun baruku diawali dengan makan pagi di hotel berbintang, duduk manis di salon spa dan terbang ke Singapura dengan jinjingan penuh. Aku menyeret sepatu apapun yang tertangkap mata dan naluriku. Rasanya aku hanya membutuhkan sebuah jari telunjuk menuntaskan keinginanku dan menghadiahi jari-jari lainnya dengan cincin besar, bermata indah dan tentu saja mewah dan sempurna. Aku dimabuk kepayang benda-benda penggoda iman perempuan. Bulan pertama di awal tahun pujian dan sanjungan akan kuraup dengan mudah. Gunjingan dan nada heran tak percaya juga menyertai setiap kehadiranku. Tidak ada seorangpun yang akan melecehkan penampilan yang mirip toko berjalan. Aku puas bisa mengalahkan Syahrini.   
Bulan berikutnya aku mulai mematikan ponselku dan menitip pesan pada teman kantorku kalau aku sedang tidak berada di tempat kerja. Aku ketakutan setengah mati dengan lembaran angka-angka tidak masuk akal yang menyentuh mataku. Para preman tukang tagih berkeliaran memamerkan otot dan deretan tatonya yang memaksa bulu kudukku berdiri. Teringat kasus orang-orang mereka “dicelakai” dan seolah “tidak ada perdamaian” dengan mereka. Kulitku yang halus akan memar di tangan mereka, rumahku diawasi dua puluh empat jam dan siap diserbu. Mereka hanya menjalankan tugas, tidak lebih. Aku terdesak bermain petak umpet, hidup dari satu kebohongan pada kebohongan lan, mencari lubang baru guna menimbun lubang lama yang tidak bisa tertutup sedalam apapun telah diupayakan.
            Akhirnya drama itu harus berakhir tragis. Aku harus dipenjara bersama para koruptor. Kamar mereka lebih mewah dan bersih dibandingkan bilikku di hotel prodeo. Seharusnya mereka diperlakukan sama denganku. Aku hanya menyalahgunakan uangku sendiri dan mereka mencuri uang dari rakyat. Aku protes kepada kepala penjara dan aku ditertawakan. Aku makin kesal, panik dan marah. Mendadak aku pingsan dan kepalaku hampir pecah, tak sanggup menahan beban pikiran dan persoalan yang begitu besar dan dasyat.
 Dengan kepala berat, aku terbangun dan mengumpulkan semua kartu plastik itu dan menyimpannya hingga hari setelah libur panjang, akan kuhabisi riwayat kartu-kartu ajaib itu. Dengan ketegasan dan kebulatan hati akan kusampaikan kepada para bank penerbit yang baik hati namun menjebak jiwa, bahwa aku belum membutuhkan mereka semua. Aku harus berdamai dengan realita kemampuan finansialku, menguasai hati dan kesombonganku dan membuat resolusi di tahun baru 2012. Hadiah tahun baruku memang menggiurkan, namun kebijaksanaan dan kerendahaan hati adalah hadiah terindah dan luar biasa yang sesungguhnya. Dimana hartamu berada di situlah hatimu berada, begitu kata Kitab Suci. Jadi kuletakkan hartaku di bawah akal nalarku dan hati yang bersih.
Apa hadiah yang didapat di tahun baru atau apa resolusimu memulai pergantian tahun? Apa yang telah kaupelajari dan kau dapatkan nilainya dalam tahun berlalu adalah berkah dalam hidup yang tidak bisa diabaikan begitu saja dan mungkin tidak  bisa dinilai dalam nominal uang. Namun itulah modal yang membuat kita kaya dan kuat, meski masih bersifat imaterial. Resolusi dan janji tidaklah berarti apa-apa tanpa usaha menunaikannya. Setiap pribadi berhak membuatnya tahun demi tahun dan mewujudnyatakannya.
Waktu berganti tanpa pernah bisa ditahan, detik bergulir hingga tahun menggelinding tak mampu dicegah, semoga tiada halangan berkesempatan mengucapkan “Selamat Tahun baru 2012 dan mari kita tinggalkan tahun 2011 dengan satu doa dan ucapan syukur serta harapan bahwa tahun depan lebih baik dan berkualitas. Kita tidak tahu hari esok namun harapan itu sungguh ada di dalam iman dan percaya akan Sang Khalik.”
Tegal, 1 Januari 2012 jam.00

           

Rabu, 28 Desember 2011

Seberapa Pentingkah Seorang Ibu Bagimu


Status di Facebook (Siana Ria 22/12/2011) :

“Pagi-pagi terselip sebuah surat dari anakku di tas kerjaku, mengingatkan keberadaan seorang ibu yang telah berjuang mendidik anak-anaknya dengan cinta dan kasih. Terima kasih telah menepuk bahu ibumu, Nak.  Menjadi seorang ibu bukanlah beban mengingat setiap pengorbanan yang telah ditorehkan, tetapi sebuah pilihan bijak atas dasar cinta. Selamat hari IBU!

Tanggal 22 Desember adalah hari IBU, hari dirayakannya pengorbanan dan kasih seorang IBU. Terkadang ironisnya, kita justru mengabaikan 354 hari lain dan tanpa sadar tidak mengacuhkan keberadaannya dan menjadikannya hal biasa. Salah satu status seorang teman di twitternya bilang, “Setiap hari adalah hari IBU-ku.” Status itu menggambarkan kedekatan dan pengenalannya dengan pribadi ibu, terasa sangat manis menggetarkan hati. Bahkan di hari itu seluruh status di jejaring sosial bicara soal  pengorbanan seorang yang dipanggil dengan ibu. Kalimatnya sangat indah, marak dan penuh eforia menyanjung beliau. Namun apakah dia mengerti hari itu dia menjadi trending topic?

Mungkin dia sendiri telah melupakan hari itu atau telah menjadi pikun. Mungkin ibumu telah pergi ke sorga bersama doa dan harapan yang tiada putus padamu. Dan kau hanya mampu mengingatnya dalam doa dengan bibir penuh ketulusan, semoga Tuhan memberikan tempat terbaik bagi orang paling penting dalam hidupmu. Dialah malaikat yang dititipkan Tuhan menjaga dan memeliharamu dengan kekuatan dan kelemahannya hingga kau beranjak dewasa.

Alangkah mulianya peran seorang ibu, hingga diklaim bahwa “Surga ada di telapak kaki ibu.” Artinya sejauh mana kau telah pergi atau membuat kesalahan disanalah tempatmu kembali. Setiap langkahnya akan membawa anak-anaknya pada jalan yang telah dikenalnya. Kalaupun ia pernah tersesat, pasti dia akan menceritakan jalan lain yang lebih baik. Asam dan garam yang pernah ditelannya dibagikan dalam senyuman dan ucapan bijaksana agar kau mudah melewati badai hidupmu.

Seorang ibu terkadang lupa bagaimana cara memoles pipinya agar terlihat cerah atau mengeriting rambutnya agar selalu cantik seperti masa mudanya. Dia membiarkan lipstik kesayangannya dipatahkan atau minyak wangi-nya dipecahkan karena jadi rebutan balitanya. Dan dia hanya mampu marah atau menggeleng-gelengkan kepalanya sekejap, namun hanya menyunggingkan senyumnya. Betapa hatinya menangis melihat benda-benda kesayangannya tidak dihargai, hilang atau hancur perlahan, tetapi enggan meributkannya dengan anak-anak, sambil berharap kelak mendapatkan barang-barang itu kembali sekalipun nilainya telah berubah. Dia berusaha berdamai dengan semua itu.

Seorang ibu terkadang harus berbohong dengan membentuk senyuman meyakinkan seolah ingin mengisyarakat dia tidak pernah menginginkan makanan favoritnya sendirian. Dia membiarkan dirinya dilanda kelaparan saat menatap putra-putrinya menghabiskan semua makanan dengan kenyang. Dan dia bersyukur dengan menciptakan wajah gembira telah menghabiskan sisa-sisa makanan yang sayang bila terbuang. Tetapi anak-anaknya sepertinya tidak pernah merasa kenyang dan puas.

Ada kalanya seorang ibu lupa menyisir rambutnya dan hanya menyikat sekenanya tetapi tidak pernah lupa mengingatkan anaknya agar mandi dan berdandan wangi agar nampak elok dipandang. Dia kerap lupa atau tidak sempat membersihkan diri atau mengganti jubah kebesarannya yang telah koyak di sana-sini dengan baju layak yang sudah dibelinya, tetapi tetap disimpannya hingga anak-anak beranjak dewasa dan malahan menganugerahkan gaun kesayangannya. Dia akan menyediakan baju-baju yang bagus dan terkini bagi buah hatinya, sementara dia hanya mendadani dirinya dengan beberapa gaun membosankan dan tak berhenti memuji mereka seolah anak-anaknya adalah pangeran dan putri paling cantik dan tampan di dunia.

Tahukah bahwa seorang ibu hanyalah manusia biasa, yang pastilah tidak menyukai semua pekerjaan rumah yang tidak pernah habis, namun berusaha menyelesaikan semua tugas yang disukai maupun yang amat dihindarinya. Terkadang dia harus memilih duduk bersama anak-anaknya belajar dan namun pikirannya melayang pada pekerjaan rumah yang menumpuk dan akan membereskan rumah tatkala buah hatinya telah tertidur. Sementara kau hanya ditugasi belajar dan belajar saja. Hingga akhirnya dia akan menelan kelelahan dalam tidur malamnya yang singkat.

 
Dia mengabaikan mimpi-mimpinya dan menggantikannya dengan apa yang disukai si sulung, makanan yang dibenci si tengah atau binantang apa yang ditakuti si bungsu. Dia menanamkan mimpi-mimpi besarnya pada anak-anaknya dan menunjukkan jalan cara meraih dengan keyakinannya. Dia memperlakukan setiap anak-anak secara berbeda sesuai dengan sifat, karakter dan pembawaannya, dan kau menuduhnya telah bersikap tidak adil terhadap kalian semua. Meskipun kau kerap melupakan janjimu menjadi anak yang baik dan menyenangkan setiap kali melakukan kesalahan tetapi kau selalu menuntut setiap janji yang diucapkannya.

Mata seorang ibu akan terbuka sebelum anak-anak bangun dan akan tertutup terakhir setelah semua anggota keluarga telah memenuhi peraduan. Mata itu pernah bengkak karena kekhawatiran dan ketakutannya menghadapi dunia yang bergerak cepat. Dia memikirkan apa yang dimakan anak-anak besok dan ilmu yang akan dibekali mereka menghadapi kerasnya kehidupan. Akhirnya seorang ibu menjadi lupa bila anaknya telah bertumbuh dewasa melebihi dirinya dan selalu menganggap anaknya, yang menurut pemahamannya harus diingatkan. Kau mulai marah atau merasa tidak nyaman dengan segala pesan dan peringatannya, namun ibumu tetap saja melakukannya seperti beberapa tahun silam.

Kau menganggap kesuksesanmu karena kerja keras dan jerih payahmu dan melupakan siapa yang menghiburmu saat kau mengalami kegagalan. Kau tidak pernah tahu bila jantungnya berdebar lebih kencang saat kau menghadapi ujian atau kenaikan kelas. Dan dia menyimpan rasa kecewanya saat kau tidak bisa meraih nilai atau rangking tertinggi. Cerita dan tangisanmu bercampur aduk saat teman-temanmu meninggalkanmu dan dia selalu ada waktu untukmu. Dan kau kembali pergi saat kau tidak memerlukannya karena ada teman-temanmu di sekelilingmu, bahkan terkadang kau merasa malu dengan tingkah konyolnya atau kekolotannya. Ibumu hanya bisa merelakanmu dengan duniamu yang baru, sama seperti saat dia meninggalkan ibunya dahulu dan berpikir bahwa peristiwa yang sama akan berulang kelak pada dirinya.

Apakah kau merasa tergugah dengan ingatanmu akan seorang yang begitu dekat, seseorang yang telah mendonorkan darahnya mengalir dalam tubuhmu, lalu menghentikan aktivitasmu hanya untuk menelpon atau membisikkan di telinganya, betapa berartinya dia bagimu? Dia tidak mengharapkan balas jasamu, karena dia berpikir seperti sang surya yang memberi tanpa mengharap kembali. Kasihnya akan selalu ada sepanjang masa tetapi kasihmu hanya sepenggal jalan dan dia memahami itu. Tepuklah bahunya dan katakan AKU MENCINTAIMU, IBU. Hanya kalimat itulah yang membuatnya akan tetap bertahan menghadapi badai dalam kehidupannya dan ingin selalu melihatmu tumbuh dewasa dan menanti setiap pencapaianmu.

Terima kasih, Ibu. Semoga aku bisa menjadi sepertimu dan tiada pernah akan melalukan jasa pengorbananmu. Aku bukanlah ibu yang sempurna, namun aku berusaha mendidik anak-anakku dengan tangan, hati dan pikiranku. Aku berbahagia telah menjadi seorang ibu karena menjadi seorang ibu adalah karunia terbesar dan terajaib dalam kehidupan sekaligus pilihan bijak atas dasar cinta.

SELAMAT HARI IBU!

 

Jakarta, 22 Desember 2011

Minggu, 27 November 2011

Lihatlah Kegagalan Sebagai Keberhasilan






Gagal dulu baru berhasil, itu hal biasa. Berhasil lebih dulu ketimbang gagal, pastilah luar biasa. Bisa ditebak bahwa berhasilnya pasti bukan karena usahanya tetapi mungkin hasil pemberian orang lain atau faktor keberuntungan. Lewatilah proses gagal dulu setelah itu berhasil dengan berbesar hati tanpa mematahkan semangat.

Hari ini, berita kegagalan sayembara menulis di sebuah majalah wanita bergengsi yang saya ikuti harus dimaknai dengan kepala dingin. Semesatinya saya merasa kecewa dan marah dengan pencapaian ini, meskipun jauh-jauh sebelumnya sudah bisa ditebak hasil usaha ini akan menemui kegagalan, mengingat jam terbang saya dalam dunia tulis menulis masih sangat jauh dari standar yang diharapkan majalah gaya hidup ini. Sebagai peserta underdog, saya hanya bermodalkan tantangan pada diri sendiri akan menulis setelah empat tahun keinginan ini hanya tertidur di benak saya, padahal kompetisi ini dilaksanakan setiap tahun dan saya baru bisa mewujudkannya tahun ini. Sayang sekali rasanya melewatkan kesempatan meraih kemenangan. Tapi apa mau dikata, kenyataan berbicara lain.

Kegentaran hati saat mengerjakannya menjadi kebimbangan tersendiri, setidaknya saya sudah pernah mencicipi dan merasa lebih lega dengan kebesaran hati saya melihat kenyataan ini. Dengan kesadaran ini saya mereguk kegagalan dengan penuh ketenangan merangkul slogan nothing to lose. Menang syukur kalah ya biasa, begitu pikiran saya selalu. Tidak ada yang dirugikan selain latihan berdisiplin dalam menulis, berani berkompetisi dan tidak membelanjakan waktu dan pikiran bagi hal lain yang mungkin lebih atau tidak produktif. Keputusan untuk menggeluti dunia yang menantang dari masa remaja tanpa mengesampingkan berbagai status menjadi tantangan tersendiri.

Kompetisi-kompetisi pencarian bakat atau menyanyi di televisi terkadang secara kejam menayangkan para peserta yang sangat-sangat tidak berbakat (baca: payah dan parah) dan menjadi bahan tertawaan hanya untuk menaikkan rating acaranya. Tanpa sadar mereka telah berperan membunuh bakat dan kompetensi seseorang. Padahal mereka telah berbesar hati mempersiapkan diri dengan penuh keyakinan mengikuti audisi yang memakan waktu seharian dan penuh perjuangan jalan menuju audisi. Kita bahkan ikut menertawakan “keterbatasan” dan kegagalan mereka, tetapi harus bersalut dengan keberhasilan mereka mengikuti audisi yang belum tentu bagi mereka yang berbakat (lebih baik) berani berkompetisi. Saya berusaha menempatkan diri sebagai bagian dari mereka, tapi bukan di garis yang sangat parah dan tidak berbakat, tetapi di barisan cukup bagus atau kurang latihan saja. Untungnya kompetisi ini tidak ditayangkan di media televisi, jadi tidak ada orang yang menertawakan usaha mati-matian saya.

Sudah pasti akan ada akan ada orang yang akan menertawakan usaha saya, karena kekuranganberbakatan dengan memaksakan diri menulis bermodal tema dan kalimat “pas-pasan”. Kelihaian dalam suatu bidang tidaklah turun dari langit, tetapi digodok dalam proses panjang, saya masih harus banyak belajar dan berlatih terus menerus mengasah bakat dan kemampuan demi pencapaian sebuah mimpi. Emas hanya akan menjadi murni bila telah dibakar dalam panas ribuan celcius. Tanpa proses panjang dan melelahkan tidak akan tercipta kemurnian emas. Imitasi dicontek dari kemurnian dan keaslian barang berharga, dijual murah dan mudah didapatkan. Tentukan proses apa yang akan dipilih, menjadi emas atau sekedar barang imitasi yang mudah dilupakan.

Terkadang kegagalan menuai ejekan. Tanpa ejekan mungkin seseorang tidak terpacu menjadi lebih baik. Jangan pandang ejekan sebagai tindakan mengecilkan seseorang. Justru ejekan harus menjadi dinamit dengan daya ledak besar menghancurkan segala penghalang keberhasilan. Ejekan harus menghasilkan keberhasilan setelah rangkaian kegagalan. Berusaha tidak mencari pembenaran diri dan menyalahkan berbagai hal sebagai penyebab kegagalan adalah sikap seorang yang dewasa, tetapi mereka yang kekanak-kanakan sibuk mencari kambing hitam.

Saya membagikan kegagalan ini sebagai kebelumberhasilan, bukan menertawakan diri atau membesarkan pencapaian yang telah diraih. Kegagalan satu bidang tidak berarti kegagalan dalam seluruh segi kehidupan. Seperti kasus saya, hanya pada aspek tulis menulis yang memang tidak saya kuasai benar-benar dan sebuah kewajaran bila belum membuahkan hasil. Saya tidak merasa gagal dalam sisi hidup yang lain dan percaya bahwa setiap orang memiliki potensi dan bakat berbeda dalam mengeksporasi hidup. Diperlukan latihan dan proses belajar terus menerus bila seseorang mengharapkan pencapaian yang lebih tinggi, untuk menjadi ahli dalam bidang tetentu diperlukan jam terbang tinggi. Tentu berpuas diri menjadi kendala keberhasilan lebih tinggi.

Setiap orang pasti pernah gagal dan berhasil, terpuruk dan sukses, dua kutub yang selalu bertolak belakang. Namun sebagian dari kita mungkin diciptakan dari dunia yang selalu memandang hasil dan tidak melihat proses. Bila tidak mencapai target atau hasil tertentu maka dianggap gagal dalam hidup atau tidak sukses. Marilah ubah cara pandang ini. Jangan menertawakan kegagalan orang lain, belum tentu kita dapat melakukan hal yang sama seperti yang telah dilakukannya. Pandanglah hidup dengan cara menerima kegagalan sebagai hal biasa dan menganggapnya sebagai latihan bagi kesuksesan berikutnya. Setiap orang membutuhkan waktu yang tidak sama untuk memahami arti kegagalan dan keberhasilan dalam hidup.

Mencoba dan gagal adalah keberhasilan, setidaknya pergerakan melewati keterdiaman, melakukan usaha atau tidak berada di titik nol selamanya. Tidak mencoba pastilah membuahkan kegagalannya, tidak ada hal yang dilakukan. Hidup adalah sikap menerima dan mensiasati setiap kegagalan maupun keberhasilan. Selebihnya hanya persoalan hasil dan nilai dalam skala sosial ekonomi yang diterima dalam masyarakat. Lebih mudah menikmati keberhasilan dari pada melewati kegagalan. Itu sudah hukum alam.

Tetap semangatlah, karena hidup adalah perjuangan tanpa henti-henti. Bila tidak ada hal yang diperjuangkan lagi, maka berhentilah untuk hidup karena hanya kematian dan kekosongan yang sedang dijalani. Keberhasilan hari ini adalah hasil dari serangkaian kegagalan di masa lalu. Jangan pernah merasa jatuh akibat kegagalan dan berpuas diri dengan keberhasilan. Kegagalan memaksa kita mengejar keberhasilan sebagai anugerah dan rasa syukur atas hasil yang telah diupayakan.

Kegagalan dan keberhasilan seperti dua sisi mata uang, tergantung bagaimana kita memandangnya. Harapan saya semoga kita selalu bersikap bijaksana menyikapi dua kutub ini.

Renungan Harian Bogor - Jakarta
Jakarta 27 November 2011

Sabtu, 13 Agustus 2011

Orang Jelek Dilarang Bodoh Apalagi Melarat




Dunia begitu mendeskreditkan orang jelek. Sering kita mendengar kalimat ini ”Sudah jelek bodoh lagi” atau  ungkapan seperti ini ”Sudah jelek melarat pula”. Lebih  parah lagi, ”sudah jelek, bodoh dan miskin lagi” . Itulah potret hidup paling terkutuk yang sebisa mungkin dihindari orang.. Kalaupun jelek, sedikit pintar atau agak kayalah agar punya nilai lebih. Tetapi kerap hidup bersikap tidak adil terhadap seseorang yang jelek nan bodoh bin melarat itu.

Definisi jelek
Semua orang tahu apa itu muka jelek dengan melihat ciri-ciri jasmaniahnya.. Jelek menurut definisi umum adalah wajah di bawah garis pas-pasan saja atau tidak proporsional organ yang menempel di wajahnya ataupun letaknya kurang pas. Kalau hidung yang dipuja adalah mancung, maka dia berhidung pesek. Namun kategori jelek akan berbeda bagi setiap masyarakat. Sederhananya, jelek berarti tidak punya nilai estitika atau keindahan dipandang dari sudut manapun. Memang penilaian jelek ini sangat subyektif sifatnya, penilaian jelek di suatu tempat pasti akan berbeda dengan tempat lain, karena anatomi tubuh, warna kulit dan penunjang kecantikan atau ketampanan setiap tempat berbeda.

Seperti apa cantik atau tampan itu? Berhitung mancung, berdagu belah, berpipi tirus, bermata besar, berbulu mata lentik, alis seperti bulan sabit, dan seterusnya. Itulah sedikit gambaran cantik ala orang Asia. Lebih mudah bila kita menyebut artis-artis yang laris manis itu sebagai orang cantik, seperti Dian Sastro, Sandra Dewi atau Luna Maya atau mereka yang ganteng seperti Dude Herlino, Darius Sinanthrya atau Roy Marten. Tentu cantik atau tampan untuk orang bule yang berkulit putih dan berambut blonde akan berbeda dengan orang amerika latin, mongolia atau kulit hitam.


Orang jelek dilarang bodoh
Kalau ada yang bilang sudah jelek bodoh pula, sangat menyakitkan terdengar. Pernah melihat makhluk seperti itu atau tersangkanya diri sendiri? Orang-orang bodoh pasti ber-IQ rendah, namun belum tentu rendah pula EQ dan SQ-nya. Ini hanya soal angka pada skala IQ. Tidak seorang pun bercita-cita menjadi bodoh. Mungkin seorang bodoh tidak bisa menghitung jumlah bintang di langit, atau menguraikan teori molekul dari suatu zat kimia, tidak bisa berorasi dengan hebat, tetapi bila dia bisa memasak dengan benar dan enak, berbicara sopan pasti bisa dikategorikan tidak bodoh di bidang sosial (SQ).

Orang bodoh yang tidak dapat membedakan benar salah, baik buruk, berdosa atau tidak itulah orang yang terbodoh di dunia. Orang bodoh pasti tidak bisa membedakan hal-hal prisnsipiah di dalam hidup. Kepandaian bukan jaminan seseorang dapat melewatkan semua persoalan hidup, karena hidup bukan sekedar persoalan matematis, tetapi juga bidang-bidang lain sosial budaya, agama dan lain-lain.

Bagaimana bisa pintar bila dari kecilnya saja kurang gizi dan hidup di bawah garis kemiskinan. Terkadang karena dianggap tidak pintar dalam suatu hal kemudian digeneralisasi bodoh terhadap hal lain. Bila seseorang selalu dicap bodoh, maka jadilah dia bodoh secara psikologi, dan kebodohan itu berkembang biak menjadi kebodohan-kebodohan lain. Pasti kita pernah menjumpai orang jelek yang amat bodoh, sampai kita sering kesal dibuatnya karena kebodohannya yang keterlaluan. Dan berharaplah bahwa orang itu bukan kita.

Oang jelek dilarang miskin
Ini yang paling tidak enak kedengarannya. Sudah jelek, melarat pula, masih lebih baik dibandingkan sudah jelek bodoh, masih terdengar seperti alamiah karena kerap kali. kekayaan dihubungkan dengan kerja keras. Kekayaan adalah  harta yang selalu diukur dengan nilai ekonomis dan uang. Dan dunia sekarang yang berkembang dengan budaya materialis, mengukur segala sesuatu dengan uang. Bila sudah kaya berarti dia sukses ”jadi orang” dan dijamin bahagia juga. Benar begitu? Nampaknya sederhana sekali konsep sukses dan bahagia itu. Alangkah sengsaranya orang yang jelek dan miskin.

Kaya dan miskin adalah persoalan ekonomi, orang kaya bisa menentukan merek dan tempat dimana mereka akan makan, sedangkan orang miskin asal makan dan dimana saja pasti sudah cukup. Apakah rasa makanan dan minumannya berbeda? Pasti ya. Apakah rasa enak dan nikmatnya berbeda? Pasti ya. Karena lidah mereka memaknai makanan dan minuman secara berbeda. Namun tingkat kepuasan makan orang kaya belum tentu lebih tinggi dari yang miskin. Kepuasan menikmati makan dan minuman menyangkut rasa syukur di hati, bukan sekedar tugas indera perasa saja.

Demikian juga masalah pakaian yang mereka kenakan, pastilah berbeda. Mudah mendeteksi mana orang kaya atau orang miskin dari cara pakaian atau dandanan. Namun apakah yang kaya akan selalu merasa lebih puas dan bahagia dibanding yang miskin dalam berpakaian? Tentu tidak, karena jawabannya akan sangat subyektif. Begitu pula soal harta-harta yang lain. Orang miskin mungkin lebih puas bisa punya rumah meskipun kecil dan kontrakan. Apakah orang miskin tidak bisa tidur pulas sementara orang kaya pasti lelap tidurnya? Tidak juga. Kepuasan terhadap harta atau hal-hal jasmaniah adalah sangat subyektif dan berbeda setiap orang..

Orang jelek harus bagaimana dong?
Orang yang jelek tidak perlu cemas menjadi bodoh atau miskin. Setiap manusia diciptakan dengan kekurangan dan kelebihan. Gambaran diri orang jelek harus diubah. Begitu banyak cara membuat orang tampil menarik, dan betapa banyaknya produk fashion yang dapat membantu orang tampil charm. Tampil cantik atau tampan belum tentu menarik dan enak dilihat orang. Kepercayaan diri memancarkan spirit dan aura keunikan setiap pribadi, disanalah terlihat kualitas pribadi yang hangat dan menarik. Orang menyebutnya percaya diri (PD) itulah yang membedakannya. sehingga sering kita mendengar kalimat ”Pede aja lagi.”

Pada kenyataanya para selebritis yang dikategorikan cantik atau tampan, hanya sedikit yang menyadari kalau dia memang cantik atau tampan. Seorang wanita pastilah cantik dengan keunikannya dan seorang lelaki  pasti ganteng dengan perangainya. Lebih baik jadi pribadi yang menyenangan dan enak dilihat daripada menjadi orang cantik atau tampan tetapi membosankan. Seorang Tukul Arwana yang menurut saya dan kebanyakan orang bilang jelek, punya cara menjual dirinya. Kejelekannya itulah justru yang diingat pemirsa dan penggemarnya tentu dengan pengemasan yang benar.

Namun bicara soal keberuntungan, ada berita baik bagi orang jelek karena banyak orang cantik malah bersuamikan mereka yang jelek. Lalu orang-orang jelek itu  berbangga membela dirinya kalau dia ingin memperbaiki keturunan, atau mengatakan betapa adilnya Tuhan karena orang-orang ganteng dipilih oleh wanita-wanita bertampang pas-pasan.

Kaya miskin adalah soal rejeki. Kerja keras dan semangat pantang menyerah dalam memperoleh rizki yang halal adalah hal hakiki. Kaya miskin hanya persoalan status sosial di masyarakat. Jangan pernah minder dengan kemiskinan atau sombong dengan kekayaan karena dunia akan berubah dengan cepat. Yang kaya belum tentu selalu kaya atau sebaliknya kemiskinan menjadi dosa turun termurun. Selalu ada rejeki bagi mereka yang bekerja sungguh-sungguh memeras keringat. Namun belum tentu rezeki kerja keras setiap orang akan sama. Masing-masing orang mempunyai takaran dan kapasitas tersendiri dalam memperoleh rejekinya.

Janganlah minder karena kejelekan yang dimiliki, karena penghargaan terhadap diri sendiri dengan segala atributnya adalah lebih utama dan tidak bisa dibandingkan dengan apapun. Kepandaian intelektual, bukan patokan pasti kesuksesan seseorang karena masih ada EQ dan SQ. Buatlah diri sendiri mempunyai nilai jual dengan karakter yang unik tanpa perlu merasa minder karena ”bodoh” atau ”miskin.” Hanya orang-orang yang dapat menghargai dirinya dan orang lainlah yang bisa bahagia dan sukses memaknai karunia wajah yang sudah diberi Yang Kuasa.

Bogor, 13 Agustus 2011

Sabtu, 30 Juli 2011

Seberapa Dekatkah Kematian Itu?


Bagaimanakah rasanya bersama dengan teman atau keluarga yang mendadak menghembuskan nafas terakhirnya di dekatmu,  sementara baru saja dia terlihat sehat bugar dan tersenyum sepanjang hari kepadamu. Dan kita tak akan bisa melihatnya lagi, selain pusara dan mengingat namanya. Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati menyisakan sebuah nama. Nama seperti apakah yang akan dikenang sejarah?


Apakah kematian itu?
Inilah yang mengusik pikiran saya sejak lama dan sangat mengganggu. Saya berusaha melupakan dan membuangnya jauh-jauh dari pikiran. Tetapi semakin dipaksa pergi, semakin dia mendesak dan menghantui. Siapa yang ingin hidup dibawah  bayang-bayang ketakutan akan kematian. Akhirnya saya pilih menerima dan mendamaikan hal tentang kematian. Saya takut mati, saya kira ketakutan ini tidak hanya melanda saya seorang tetapi juga banyak orang, mungkin hanya saya yang berani mencetuskan kegelisahan dan ketakutan ini. Saya mencoba menjabarkan apa alasan ketakutan ini?

Kematian tidak bisa dihindari oleh semua orang dan menjadi momok yang menakutkan. Dalam bayangan saya kematian adalah sesuatu yang hitam dan kelam di negeri antah berantah. Saya melayang-layang diantara dunia hidup dan dunia kelam. Lalu saya akan kehilangan apapun yang sudah saya raih, termasuk keluarga atau harta benda. Siapa yang akan menjaga mereka? Bagaimana dengan keluarga atau pekerjaan yang ditinggalkan? Dan segudang pertanyaan bila saya benar-benar tidak ada? Kemana badan dan jasad ini hendak pergi. Mungkin saya akan meninggalkan tubuh saya bersatu dengan tanah air. Mengingat itu semua, badan saya menjadi lunglai dan tiada bertenaga. Namun jujur saya berharap dapat hidup seribu tahun lagi seperti Chairil Anwar yang pada akhirnya harus menghadapi ajal di usia yang muda.

Dunia kedokteran menyatakan kematian sebagai berhentinya semua proses metabolisme tubuh, ketika jantung tidak dapat lagi memompa darah dan mengalirkan sari makanan. Tanda-tanda kehidupan berlari begitu saja meninggalkan seseorang. Tapi apakah selesai sampai disini? Kemanakah perginya jiwa yang penuh gairah dan semangat ini? Saya mencoba mencari jawabannya lewat agama, setidaknya sedikit menentramkan jiwa. Berbagai agama menjelaskan perihal kematian, kehidupan setelah kematian, adanya surga atau neraka. Saya memilih kepercayaan salah satu diantaranya dan memegang teguh yang dijabarkan di sana.

Seandainya saya harus hidup selama seribu tahun, saya tidak bisa membayangkan betapa penuhnya dunia ini dengan orang-orang renta seperti saya. Betapa saya hanya menjadi beban bagi anak cucu dan cicit, karena ketidakmampuan badan saya menyanggah tubuh yang tidak bisa berkompromi. Mungkin saya harus terbaring di ranjang saya seharian menunggu pagi berubah menjadi malam dan malam berubah menjadi siang. Jadi saya memilih berdamai saja, bila kelak saatnya saya ingin meninggalkan dunia dengan segala keinginan dan kekawatirannya dengan damai.

Umur adalah misteri

Umur tidak pernah bisa ditebak. Mungkin pernyataan ini harus disetujui karena tidak ada seorangpun yang dapat menentukan umurnya maupun masa hidup orang lain secara pasti, kita hanya  mampu mengira-ngira saja. Perjalananan hidup memang tidak pernah bisa dipastikan karena hidup itu adalah misteri. Tepatlah ungkapan bahwa manusia hanya berencana namun Tuhan yang menentukan

Ada yang datang dan ada yang pergi. Yang datang disambut dengan suka cita dan hati gembira, sementara kepergian selalu ditemani air mata dan kepedihan. Meskipun para bayi harus menangis ketika datang ke bumi ini dan orang mati harus terdiam mengikuti ajal saja. Meskipun ada yang datang terburu-buru atau sedang muda-mudanya atau ada yang tidak mau pergi-pergi juga karena panjang umur.

Sedekat apakah kematian itu?

Suatu sore itu di awal bulan Juni 2011, saya bertanding tenis meja atau pinpong di bagian putri yang merupakan acara tahunan menyambut tujuhbelasan di kantor. Saya menantikan saat-saat bertanding dan bertemu dengan teman-teman yang hobi juga sama atau pernah bisa memainkan olah raga ini. Maklum bertemu hanya setahun sekali, sekali main sekali selesai menang atau kalah. Sebelum bermain, saya melakukan pemanasan atau warmin up bersama pelatih dan seorang teman. Kenapa sore itu saya melihatnya lebih tua dari biasanya namun dia begitu bersemangat berlatih, kami terbiasa bergantian main sampai bola yang kami mainkan “mati” dan digantikan orang lain begitu seterusnya, kebetulan kami hanya bergantian berdua karena yang lain sibuk mempersiapkan pertandingan lainnya.

Sedang asyik bertanding mendadak seorang teman merosot dari bangkunya dan pingsan mendadak. Semua pertandingan dihentikan di GOR kantor. Seorang perawat poliklinik langsung memberikan pertolongan pertama. Kami semua berdebar-debar menunggu saat ini, selanjutnya hanya mampu tercekat dan menelan ludah. Ketakutan saya ini seperti kasus Aji Massaid, artis sekaligus politikus yang meninggal terkena serangan jantung mendadak. Badannya mendadak dingin dan matanya tidak bisa terpejam. Kami hanya bisa melarikannya ke rumah sakit terdekat dan beliau sebenarnya sudah meninggal di tempat saat itu juga.

Dan sepanjang minggu saya masih terngiang-ngiang saat kami bersama berlatih tenis meja, keceriaan, semangat dan cintanya pada olah raga ini. Berbagai pertanyaan berkecamuk di hati kami teman-temannya. Teman saya telah ditinggal istrinya lima tahun lalu dan punya tiga anak. Yang menggelitik hati saya adalah mengapa dia harus pergi di tengah teman-teman kelompok ping pongnya? Saya bayangkan seandainya dia meninggal di tengah anak-anaknya pastilah mereka terpukul dengan kepergian ayah yang sangat dicintainya. Kalau dia memilih berpisah dengan kami teman-teman sesama pecinta olah raga kecintaannya sejak kecil, mungkin itu takdirnya. Ataukah sebuah permintaan terakhir kepada Yang Kuasa? Jawaban seandai-andai saya hanya sekedar menjawab keingintahuan dan rasa penasaran saja, karena akan bermakna berbeda bila ditujukan kepada orang lain. Hanya ucapkan selamat jalan dan doa bagi keluarga yang ditinggalkan yang bisa saya berikan kepada teman saya. Kami semua menyayangkan kepergiannya yang begitu mendadak karena dia seorang yang baik hati, tidak sombong dan selalu bersemangat. Tetapi kami tak berkuasa menentang takdir.

Seminggu sebelumnya salah seorang teman saya yang masih muda meninggal karena kanker, minggu depannya orang tua teman lainnya menghembuskan nafas terakhirnya pasca operasi paru-paru. Berikutnya saya kehilangan teman terbaik di klub pingpong juga karena sakit. Sepertinya berturut-turut kehilangan orang-orang yang saya kenal. Di televisi dan koran-koran memberitakan kematian dengan berbagai variasi dan misteri. Kepergian mereka semua begitu mengingatkan saya sebuah pertanyaan yang terus menggelitik pikiran saya tentang sebuah kematian. Kematian terasa begitu dekat.

Apakah yang akan diingat orang setelah kematian?

Tak perlu memperdebatkan bagaimana kehidupan setelah kematian, karena itu bukan bagian saya. Banyak para ahli yang akan berdebat tentang hal ini. Kematian memang tidak bisa dihindarkan, barangkali yang harus direncanakan adalah apa yang akan ditinggalkan setelah kematian. Dan bukan bagaimana cara meninggalkan dunia ini, karena itulah rahasia ilahi antara pelaku dan Tuhan. Akhirnya tinggalkanlah kebaikan dan nama yang bersih mungkin akan semudah kita meninggalkan dunia ini dengan senyuman. Tidak perlu menjadi seorang pahlawan besar yang akan selalu dikenang atau diukir namanya di sebuah tugu. Namun bila hidup telah memberi arti banyak bagi orang lain dan keluarga dengan suri tauladannya pastilah sebuah nama akan sangat sulit dihapuskan dari kenangan dan sejarah.


Jakarta, 27 Juli 2011
Mengenang Pak Martin dan Pak Yoyon, teman  di klub Tenis Meja, Yamaha Motor. Selamat Jalan. Semoga amal ibadahnya diterima di sisi-Nya.

Selasa, 26 Juli 2011

Semangat itu Seperti Obat

Prolog
Saya menuliskan catatan ini sebagai pelunasan hutang tulisan, juga ditujukan untuk. mereka yang sakit, atau memiliki keluarga, saudara atau teman sedang mengalami sakit baik ringan, berat, menahun atau yang tiada berpengharapan sembuh. Karena seberkas cahaya dari lilin terkecil tetap dapat menerangi gulita gelap. Setidaknya selalu ada harapan di tengah badai kehidupan. Mungkin kita belum pernah mengalami sakit keras hingga harus terbaring di rumah sakti selama waktu yang panjang, namun mencegah datangnya sakit mungkin lebih baik dilakukan. Bukan karena obat mahal, tetapi sehat itu mahal.
 
Semangat itu Seperti Obat
Beberapa waktu lalu saya pulang ikut bareng mobil seorang teman. Perjalanan yang seharusnya ditempuh sepuluh menit berubah menjadi setengah jam lebih karena macet menjelang akhir pekan ke arah pulo gadung, Jakarta. Sebenarnya ada pertanyaan yang menganggu benak saya setiap kali bertemu teman saya ini, yang usianya menjelang setengah abad dan baru saja sembuh dari kelumpuhan akibat kena Guillian Barre Syndrome (GBS) selama hampir setengah tahun. Penyakit langka ini menyerang tua dan muda dan mengakibatkan kelumpuhan sementara namun tetapi bisa disembuhkan bila mengkonsumsi obat yang harganya jutaan rupiah per botol kecil dan harus diteguk setiap harinya. Bisa dibayangkan berapa besar biaya pengobatan, sementara asuransi yang diikutinya tidak mau mengcover penyakit langka yang pasti tidak ada dalam klausulnya. Terjawab sudah kegundahan hati saya sore itu melontarkan pertanyaan mungkin sama dengan pertanyaan semua orang yang mengenalnya,  apa rahasianya bisa sembuh kembali”.
 
Saya terkagum-kagum kepadanya seolah dia tidak mengenal kata menderita sakit GBS ini, belum pernah saya lihat dia mengeluh karena penyakitnya. Sebulan lalu saya bertemu dengannya lagi, sekian lama. Dia terlihat sangat kurus dan lambat dalam berjalan atau beraktivitas lainnya. Teman-teman malahan masih menyuruhnya beristirahat lebih lama agar dia lebih cepat sembuh ketimbang keluyuran di kantor. Tetapi dia tersenyum dan menjawab lebih senang bekerja karena dia dapat beraktivitas kembali dan mengusir kejenuhan di rumah. Dan staminanya kembali berangsur pulih dari hari ke hari seperti sedia kala. Saya melihat keajaiban.
 
”Menurut dokter penyakit GBS ini bisa disembuhkan. Jadi saya optimis sembuh. Harapan untuk kembali normal masih ada, dibanding dengan serangan stroke yang pernah saya alami sepuluh tahun lalu. Waktu itu saya sedang tugas di luar kota dan memaksa pulang begitu merasa ada yang tidak beres. Badan saya lumpuh sebelah, tangan sudah tidak bisa digerakkan, saya kena stroke. Saya tidak segera ke dokter begitu sampai di Jakarta, tetapi pulang ke rumah bertemu dengan keluarga dulu. Saya pandang anak bungsu saya yang masih kecil dan berkata dalam hati ’Aku tak mau jadi orang cacat!’ Aku harus sehat untuk anak-anakku Segera saya dirawat di Jakarta.” Semangat hidup untuk melihat anak-anak tumbuh besar dan tidak mau menjadi cacat itulah yang membakar dirinya ketika menjalani perawatan.
 
Saya terharu mendengarnya, sederhana sekali ’semangat sembuh itu seperti obat’, tanpa mengecilkan arti obat dan perawatannya. Selanjutnya cerita bergulir saat-saat dia menjalani perawatan pasca stroke di bangsal rumah sakit. Hanya seminggu terbaring di tempat tidur, dia melatih tubuhnya kembali jalan dan beraktivitas. Dilihatnya sesama pasien masih terbaring selama berbulan-bulan, dia tak ingin berlama-lama karena rasa rindu pada anak-anak. Sampai teman-teman sebangsalnya terutama para keluarga yang menunggu mereka terheran-heran dan bertanya, ”Bagaimana bisa cepat sembuh?” Dia hanya menjabarkan satu hal, ”Penyakit bukan untuk dikasihani, dia harus dilawan dengan semangat sembuh.” Dan tak lama setelah itu dia sudah kembali ke rumah dan bisa bekerja kembali.
 
Keluarga membantu proses penyembuhan
Teman saya meminta sang istrinya merawatnya. Dia meminta istrinya menyuapi dan mengurus segala keperluannya, dan tak mau dilayani suster, alasannya dia bisa bersantai makan, tidak diburu-buru oleh jam kerja suster, berkomunikasi dengan sang istri tentang anak-anak atau berbagai hal selama ”rehat” beraktivitas. Malahan dia pernah bertanya kepada pasien lain, mengapa sang istri tidak menungguinya? Kehadiran istri atau orang yang sangat perduli membantu sekali dalam proses kesembuhan.  Saya terkagum dengan istri dan keluarganya yang sabar dalam merawat kepala keluarga yang sakit dengan penuh kasih sayang. Dan mereka juga obat yang membantu prores kesembuhan bagi penderita sakit.
 
Komunikasi terbatas yang dimiliki penderita stroke kerap kali membuatnya marah karena miss understanding. Penderita stroke tidak dapat berbicara dengan jelas (cadel) sementara komunikan (penerima komunikasi) juga tidak mengerti, di sinilah penderita stroke lekas marah dan justru memperparah atau memperlama proses kesembuhan, karena penderita merasa ”tidak mampu” secara jasmani maupun jiwani. Komunikasi yang diperjelas dan berulang-ulang diperlukan agar penderita stroke dapat membicarakan keinginannya sementara orang lain menjadi mengerti tujuan pembicaraan.
 
Proses kesembuhan tidak sesederhana bermodal  semangat saja, karena seorang yang sakit membutuhkan waktu dan orang lain dalam melewati proses kesembuhan, terutama keluarga dekat atau orang yang dicintai. Melewatkan masa-masa kritis, adaptasi dengan keadaan sakit dan menjalankan terapi sangat dibutuhkan orang-orang tersayang yang membantunya menambah semangat kesembuhan. Dalam keadaan sakit, penderita harus menerima penyakitnya dan mencari jalan keluar penyembuhan bersama keluarga.
 
Perdamaian dengan diri sendiri menerima ketidakmampuan akibat sakit serta meminta pertongan keluarga / teman yang bisa menemani selama proses kesembuhan adalah tindakan yang harus diambil. Menyesali apalagi menangisi kondisi tidak akan menyelesaikan masalah.. Kesabaran dan ketekunan selama proses pengobatan dan terapi membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Komunikasi harus berjalan terus antara penderita dan penjaga agar proses kesembuhan dapat terus dipantau.

Dari ceritanya, saya hanya berkesimpulan bahwa Tuhan tidak akan memberikan penderitaan, ujian atau cobaan melampaui kekuatan manusia. Persoalannya adahal keputusan apa yang kita pilih bila mengalami hal seperti teman saya tadi, menyerah atau melawan. Tidak ada yang mudah melewati masa-masa krisis dan berat tanpa bantuan orang yang perduli dan  mencintainya. Akhirnya saya ucapkan terima kasih dan salut kepada teman saya, bahwa paruh dalam hidupnya harus dilewatkan dengan sakit agar menjadi teladan dan contoh yang baik bagi mereka yang pernah mengalami hal yag sama. Tuhan memberinya ujian agar bisa membagikan ”kunci kesembuhan” kepada orang lain.

Epilog
Pertanyaan saya terjawab sudah, dengan ceritanya. Obat memang benda ajaib yang bisa menyembuhkan berbagai penyakit seiring perkembangan dunia kedokteran yang semakin maju, namun bila tidak dibarengi dengan semangat untuk sembuh, maka obat hanya akan menyembuhkan tubuh sementara saja, dan penyakit bisa kembali lagi kapan saja. Dukungan keluarga atau orang-orang tercinta banyak membantu pasien melewati masa-masa kritis atau menjalani terapi.

Semangat itu seperti vaksin yang menambah kekebalan tubuh terhadap berbagai penyakit. Menjadi bersemangat menjalani hidup setidaknya akan menjauhkan diri dari berbagai penyakit dan menciptakan hidup lebih sehat. Namun janganlah segan atau malu menerima keadaan ”sakit” dan meminta bantuan orang lain dalam proses pemulihan. Menjadi sakit mungkin bukan pilihan, tetapi menjaga kesehatan adalah tindakan bijaksana.

Terima kasih untuk teman saya Bp. Bambang atas sharing-nya. Saya belajar banyak dari Bapak arti sebuah semangat.
Jakarta, 26 Juli 2011

Selasa, 19 Juli 2011

OKNUM


SIKAP hormatnya menunjukkan penghargaan terhadap hak asasi  tersangka. Ia tak mau tergelincir HAM, senjata sakral yang bisa balik menyerangnya. Ia harus mengendalikan diri dan menenangkan hati. Mungkin saja bukan orang sembarangan, bisa saja anak pejabat atau orang yang punya backing.
“Kamu main-main ya...?!” ia membuat senyum. “Saya ulangi lagi... Siapa namamu?”
“Oknum saja...”
“Kalau susat ingat namamu, siapa nama panggilanmu?”
“Oknum juga”
“Saya tidak tanyakan siapa yang menyuruhmu! Sekali lagi dan terakhir... Sebutlah secara lengkap namamu...,” Arif, si polisi tak dapat menaham amarahnya. Makanya merah dan suaranya mulai meledak-ledak. Brengsek! Dia mau coba-coba dengan polisi, rupanya ia harus diajari, bagaimana berhadapan dengan pengegak hukum. Reputasi bagus, tak pernah gagal menangkap dan tak pernah salah tangkap orang. Orang ini tak boleh dikasih hati, jenis seperti merekalah yang selalu mengancam ketentraman masyarakat. Dia pandangi pemuda di depannya, terlihat menyembunyikan sesuatu. Instinct mendorong dia bertindak hati-hati.
“Namamu di akta kelahiran?” sang polisi melanjutkan.
“Oknum. O-K-N-U-M..” suaranya jelas dan lugas. Tak sedikit pun tersirat ketakutan atau kecemasan seperti tersangka lain yang tertangkap di TKP.
“Kamu bukan oknum. Kamu ini provokator. P-R-O-V-O-K-A-T-O-R tahu?”
“Saya Oknum, Pak! Bukan provokator... ibu saya bisa marah kalau Bapak dengan seenaknya mengganti nama anaknya...”
“Kamu nantang saya?” Arif melihat pemuda itu mencoba menakut-nakuti dengan lelucon murahan.
“Bapak tanya siapa nama saya. Saya jawab, Bapak marah...” Mukanya bening dan tulus, tak ada kebohongan dan dosa. Arif meyakinkan diri agar tak tertipu dengan pandangan matanya.
“Karena kamu keminter tahu? Saya belum pada pertanyaan siapa yang menyuruhmu atau siapa dalang intelektual di belakang peristiwa kerusuhan di kota ini....” Ia mulai mencengkeram kerah baju Oknum dengan kasar.
“Apa susahnya menyebutnya namamu... Hah? Jangan paksa saya main kasar ya. Ingat! Bukan hanya kamu yang bisa kasar...” Sang polisi hampir menampar mukanya kalau saja rekannya tak menarik pergelangan tangannya keras.
****
JANGAN main kekerasan, Teman.... Ini zaman reformasi...,” sambut rekan polisi lain penuh kemenangan. Terbersit di kepalanya mengambil alih tugas, meskipun berarti merusak prosedur. Ia tak boleh melepaskan kesempatan bagus untuk jadi sukses. Bisa saja orang ini adalah dalang kerusahuan yang membuat kota lumpuh dan mati dalam sekejap. Masa depannya bakal cemerlang dan daftar riwayat hidupnya akan terisi dengan sejarah penting. Selain itu aku akan ditakuti penjahat, perusuh dan segala jenis pencoleng. Angka kriminalitas akan turun, kalau ia mampu memegang kepala mereka.
Tukang ketik yang bertugas malam ikut bingung. Lima pertanyaan dengan lima jawaban yang berbeda. Ia tak boleh salah ketik hari ini, mungkin saja perkara yang dihadapinya menjadi perkara politik atau kriminal besar. Baunya tercium dari segerombolan wartawan yang menumpuk di depan halaman parkir minta izin meliput. Wajah-wajah mereka tak asing, dengan nama-nama yang  tidak diketahuinya. Tiba-tiba dia ingin seperti petugas reserse yang bisa menanyai dengan pertanyaan sesuka hati dan tak terpuruk dengan mesin ketiknya seperti sekarang.
“Siapa namamu?” tanpa disuruh, rekannya sudah mengambil alih tugas Arif. Arif bengong. Anggukan kepala komandan membuat dia muak. Permainan apa lagi, reformasi apa lagi, ia segera keluar ruangan dengan maki-makian di hati. Gila! Semuanya amburadul, batinnya.
“Oke kita mulai lagi, rileks saja.... siapa namamu?”
“Oknum....”
“Oknum... Nama yang bagus. Catat namanya dengan benar... Masih muda sudah jadi oknum.” Namanya yang aneh dengan tampang terpelajar, jauh dari kategori idiot. Pasit orang tuanya bagian dari rezim lama. Oknum, nama yang sesuai dengan perangai, pembuat onar. Oknur tak berpura-pura gila, waras seratus persen dan mampu secara hukum mempertanggungjawabkan perbuatannya. Suara mesin tik kuno mulai meributkan ruangan.
“Umur?”
“Dua empat...”
“Pekerjaan?”
“Entah apa namanya... Tugas saya ambil uang para pedagang di pasar.”
            “Petugas retribusi pasar? Resmi atau gelap?”
            Nggak tahu. Kalau saya narik uang, mereka memberiknya dengan tersenyum... Tanpa lupa mengingatkan besok saya harus kembali. Mereka ingin pasar selalu aman...”
            “Maksud saya... Bapak bawa karcis nggak?”
            Oknum menggeleng. “Mereka percaya saja...”
            “Baik sedang apa di tempat kejadian atau ceritakan yang kau tahu...!”
            Tukang ketik berpikir keras di depan mesin kebanggaannya yang masa kerjanya lebih dari dua dasawarsa. Sudah mengarat, namun masih terdengar indah laksana musik klasik. Harus diketik pegawai swasta atau negeri? Ia memilih yang kedua, keputusannya tak mungkin keliru. Sudah seratus orang datang di ruangan kemari dan melakukan pekerjaan yang sama.
            Ngopi dan makan pagi di warung Mbok Temu.. sampai mereka membagi-bagikan barang-barang di pasar dengan tertawa bagaikan malaikat menyelamatkan orang miskin....”
****

            SEKILAS Oknum melihat Tono, teman kecilnya yang berkemeja berpasangan dengan dasi bermerek terkenal. Ia sibuk dengan handphone-nya. Penampilannya meyakinkan dan terpelajar dengan keyakinan diri yang kuat dan bersahaja. Anak orang terkaya dan terpandang di tempat Oknum.  Sepuluh tahun lalu, Tono pernah terkencing-kencing di celana saking takutnya dilempari kodok oleh Oknum.
            “Kau Tono bukan?” Tono si tompel itu... ?” Oknum memberanikan diri.
            “Oknum ya?” katanya setelah ingat kodok. Sebentar mereka berpelukan melepaskan kangen diantara mereka. Ia tak bisa membenci oknum, karena ia anak yatim piatu yang jago berhitung dan selalu membantu mengerjakan PR matematika. Berhitung merupakan tugas sehari-hari Oknum di kios Babah A Siu.
            Ngapain ke sini?”
            “Gara-gara kerusuhan tadi. Katanya sih mau dimintai keterangan...”
            “Mereka baik padamu?”
            “Lumayan. Hanya main bentak dan bilang bahwa aku provokator...”
            “Berarti kau butuh pengacara. Aku bisa membantu mendampingimu tanpa bayaran...” ia mengeluarkan selembar kartu nama.
            “Terima kasih banyak...”
            “Kamu masih di tempat dulu?”
            Oknum mengangguk seraya berkata, “Aku mau membayarmu, biar pun sedikit dan tentu tidak sesuai dengan tarifmu... Kalau sudah pakai dasi pasti mahal... Teman-temanku masih di dalam.... kamu juga bisa membantu mereka?”
            “Percayakan kepadaku... Aku bisa membuatmu cepat pulang ke babahmu...  Besok sore datang ke rumah... Segalanya akan beres...”
***
            OKNUM tidak langsung pulang ke rumah. Langkahnya gontai menuju pasar yang porak-poranda. Semuanya hancur, seperti hidupnya dan hidup orang yang dia sayangi, Babah A Siu. Orang-orang lalu lalang membawa barang-barang layaknya milik nenek moyang mereka. Ia mengusir dan mendorong mereka. Tak ada lagi persahabatan dan keadilan ketika hidup mereka terancam. Ia menuju kios Babah A Siu, menyelamatkan yang tersisa, seperti menyelamatkan nyawanya sendiri. Dua puluh empat tahun ia mengabdi kepada juragan sembako. Kini semua tinggal puing-puing.
            Hatinya remuk, semua begitu cepat. Awalnya seorang pemuda mendekati kios kecil milik Babah A dan minta rokok. Babah A Siu menyodorkan sebungkus rokok kretek. Pemuda itu marah dan membentaknya, ”Kok Cuma sebungkus...? Saya minta satu boks..!” Si Babah kembali dengan cepat dengan satu boks rokok. Dan ia pergi meninggalkan kios Babah tanpa uang.
            Babah menahannnya, ”Uangnya?”
            “Siapa yang bilang saya beli?” Ia melenggang ... tanpa kata.
            Terdengar ribut-ribu sampai Oknum datang memukulnya. Berikutnya segerombolan teman-temannya dengan sepasukan orang tak dikenal menghancurkan semua yang ada. Sebentar kerusuhan kemudian menyebar ke seluruh kota. Kata petugas pasar, ada yang menunggangi mereka. Oknum tak mengerti, selama sepuluh tahun ia berbagi daerah dengan mereka, penguasa pasar seberang yang lebih kecil. Tak ada yang tersisa, selain rasa hancur. Ia menendang kardus dan tong yang ada di kakinya.
***
BABAH A Siu menatap kosong berpuluh-puluh porsi masakan di mangkok-mangkok keramik di meja sembayang. Persembahaan leluhur, ia suda melakukan hal itu sejak setengah abad lalu. Adakah moyangnya marah dengan bencana yang ia terima. Mampukan mereka bisa merasakan kesusahan dan kesedihan yang melanda. Ia hanya bisa bersyukur kalau anak perempuannya tak kena jarah. Cukup toko dan gudangnya.
“Bah... A Siu... Oknum bawa Babi Cap Gomeh... Babah...” Oknum mengetuk pintu rumahnya keras. Tak ada jawaban. Oknum masuk ke rumahnya mau minta maaf, tak bisa menjaga tokonya dan membalas budi.
“Bah,  Oknum mau minta maaf. Ini Oknum bawain kesukaan Babah. ..” mendadak Babah menengok dan tersenyum. Oknum hampir menabrak meja sembahyang. Astaga, ia lupa hahwa hari ini tahun baru Imlek.
“Si Babah tahun baruan?”
“Num,...” Si Babah tak bisa ngomong.
            “Sudahlah Bah,... kata babah rezeki nggak kemana. Nanti kalau sudah aman kita bangun lagi kiosnya... Kalau saja tak kupukul mereka...” katanya penuh rasa bersalah. Si Babah mengangguk. Oknum jadi kasihan.
            “Mestinya Babah ngucapin terima kasih. Sebenarnya babah mau ngasih kami sepeda di gudang pasar, tetapi semuanya...” Ia tak bisa menahan tangisnya. Tak ada hadiah tahun baru lagi. Oknum sudah dianggap anaknya sendiri. Kasihan kalau Oknum mesti bolak-balik pasar, mengambil barang yang tertinggal. Setiap hari ada saja acara ketinggalan barang, dari kunci, kaca mata sampai topi.
            Ia ingat utangnya yang sekarang bisa dia bayar sekarang, sebelum ia pergi ke negerinya untuk sementara waktu sampai keadaan normal. Ia hendak menceritahakan suatu rahasia. Sudah saatnya Oknum tahu asal-asulnya.
            “Kamu mau tahu keluargamu?” Oknum belum sempat mengangguk ketika si Babah sudah tenggelam dalam ceritanya, ”Dulu ibumu itu kembang di kota ini, sampai kejadian pejabat pusat meresmikan pasar kita. Sudah jadi kebiasaan kalau ada pejabat yang sowan, disuguhi perwan di sini. Kepla daerah waktu itu memilih ibumu melayani pejabat itu, kemudian lahirlah kau. Ibumu meninggal saat persalinan dan dalam penderitaan ia menitipkanmu... ”
            “Jadi siapa babakku, Bah?”
            “Pejabat yang lagi diributin di TV itu.” Si Babah masuk ke kamarnya menutupi rasa sedihnya untuk tidur. Pikirannya benar-benar kalut.
***
            “HARUS seperti kerusuhan biasa...” dia tersenyum. “Kalian hebat. Semua korban memintaku mendampingi mereka. Semakin banyak penderitaan dan kesalahan polisi, semakin banyak berita yang bisa dibuat. Semakin seru cerita bangsa ini.... Ini bagian kalian... ingat perjanjian kita...” terdengar orang tertawa puas. Oknum mendengarkan dengan seksama. Ia mengenal suara itu dan segera berlari kencang ketika salah seorang dari mereka memergokinya.

Diterbitkan di Suara Pembaharuan, 16 Mei 2011