Laman

Sabtu, 30 Juli 2011

Seberapa Dekatkah Kematian Itu?


Bagaimanakah rasanya bersama dengan teman atau keluarga yang mendadak menghembuskan nafas terakhirnya di dekatmu,  sementara baru saja dia terlihat sehat bugar dan tersenyum sepanjang hari kepadamu. Dan kita tak akan bisa melihatnya lagi, selain pusara dan mengingat namanya. Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati menyisakan sebuah nama. Nama seperti apakah yang akan dikenang sejarah?


Apakah kematian itu?
Inilah yang mengusik pikiran saya sejak lama dan sangat mengganggu. Saya berusaha melupakan dan membuangnya jauh-jauh dari pikiran. Tetapi semakin dipaksa pergi, semakin dia mendesak dan menghantui. Siapa yang ingin hidup dibawah  bayang-bayang ketakutan akan kematian. Akhirnya saya pilih menerima dan mendamaikan hal tentang kematian. Saya takut mati, saya kira ketakutan ini tidak hanya melanda saya seorang tetapi juga banyak orang, mungkin hanya saya yang berani mencetuskan kegelisahan dan ketakutan ini. Saya mencoba menjabarkan apa alasan ketakutan ini?

Kematian tidak bisa dihindari oleh semua orang dan menjadi momok yang menakutkan. Dalam bayangan saya kematian adalah sesuatu yang hitam dan kelam di negeri antah berantah. Saya melayang-layang diantara dunia hidup dan dunia kelam. Lalu saya akan kehilangan apapun yang sudah saya raih, termasuk keluarga atau harta benda. Siapa yang akan menjaga mereka? Bagaimana dengan keluarga atau pekerjaan yang ditinggalkan? Dan segudang pertanyaan bila saya benar-benar tidak ada? Kemana badan dan jasad ini hendak pergi. Mungkin saya akan meninggalkan tubuh saya bersatu dengan tanah air. Mengingat itu semua, badan saya menjadi lunglai dan tiada bertenaga. Namun jujur saya berharap dapat hidup seribu tahun lagi seperti Chairil Anwar yang pada akhirnya harus menghadapi ajal di usia yang muda.

Dunia kedokteran menyatakan kematian sebagai berhentinya semua proses metabolisme tubuh, ketika jantung tidak dapat lagi memompa darah dan mengalirkan sari makanan. Tanda-tanda kehidupan berlari begitu saja meninggalkan seseorang. Tapi apakah selesai sampai disini? Kemanakah perginya jiwa yang penuh gairah dan semangat ini? Saya mencoba mencari jawabannya lewat agama, setidaknya sedikit menentramkan jiwa. Berbagai agama menjelaskan perihal kematian, kehidupan setelah kematian, adanya surga atau neraka. Saya memilih kepercayaan salah satu diantaranya dan memegang teguh yang dijabarkan di sana.

Seandainya saya harus hidup selama seribu tahun, saya tidak bisa membayangkan betapa penuhnya dunia ini dengan orang-orang renta seperti saya. Betapa saya hanya menjadi beban bagi anak cucu dan cicit, karena ketidakmampuan badan saya menyanggah tubuh yang tidak bisa berkompromi. Mungkin saya harus terbaring di ranjang saya seharian menunggu pagi berubah menjadi malam dan malam berubah menjadi siang. Jadi saya memilih berdamai saja, bila kelak saatnya saya ingin meninggalkan dunia dengan segala keinginan dan kekawatirannya dengan damai.

Umur adalah misteri

Umur tidak pernah bisa ditebak. Mungkin pernyataan ini harus disetujui karena tidak ada seorangpun yang dapat menentukan umurnya maupun masa hidup orang lain secara pasti, kita hanya  mampu mengira-ngira saja. Perjalananan hidup memang tidak pernah bisa dipastikan karena hidup itu adalah misteri. Tepatlah ungkapan bahwa manusia hanya berencana namun Tuhan yang menentukan

Ada yang datang dan ada yang pergi. Yang datang disambut dengan suka cita dan hati gembira, sementara kepergian selalu ditemani air mata dan kepedihan. Meskipun para bayi harus menangis ketika datang ke bumi ini dan orang mati harus terdiam mengikuti ajal saja. Meskipun ada yang datang terburu-buru atau sedang muda-mudanya atau ada yang tidak mau pergi-pergi juga karena panjang umur.

Sedekat apakah kematian itu?

Suatu sore itu di awal bulan Juni 2011, saya bertanding tenis meja atau pinpong di bagian putri yang merupakan acara tahunan menyambut tujuhbelasan di kantor. Saya menantikan saat-saat bertanding dan bertemu dengan teman-teman yang hobi juga sama atau pernah bisa memainkan olah raga ini. Maklum bertemu hanya setahun sekali, sekali main sekali selesai menang atau kalah. Sebelum bermain, saya melakukan pemanasan atau warmin up bersama pelatih dan seorang teman. Kenapa sore itu saya melihatnya lebih tua dari biasanya namun dia begitu bersemangat berlatih, kami terbiasa bergantian main sampai bola yang kami mainkan “mati” dan digantikan orang lain begitu seterusnya, kebetulan kami hanya bergantian berdua karena yang lain sibuk mempersiapkan pertandingan lainnya.

Sedang asyik bertanding mendadak seorang teman merosot dari bangkunya dan pingsan mendadak. Semua pertandingan dihentikan di GOR kantor. Seorang perawat poliklinik langsung memberikan pertolongan pertama. Kami semua berdebar-debar menunggu saat ini, selanjutnya hanya mampu tercekat dan menelan ludah. Ketakutan saya ini seperti kasus Aji Massaid, artis sekaligus politikus yang meninggal terkena serangan jantung mendadak. Badannya mendadak dingin dan matanya tidak bisa terpejam. Kami hanya bisa melarikannya ke rumah sakit terdekat dan beliau sebenarnya sudah meninggal di tempat saat itu juga.

Dan sepanjang minggu saya masih terngiang-ngiang saat kami bersama berlatih tenis meja, keceriaan, semangat dan cintanya pada olah raga ini. Berbagai pertanyaan berkecamuk di hati kami teman-temannya. Teman saya telah ditinggal istrinya lima tahun lalu dan punya tiga anak. Yang menggelitik hati saya adalah mengapa dia harus pergi di tengah teman-teman kelompok ping pongnya? Saya bayangkan seandainya dia meninggal di tengah anak-anaknya pastilah mereka terpukul dengan kepergian ayah yang sangat dicintainya. Kalau dia memilih berpisah dengan kami teman-teman sesama pecinta olah raga kecintaannya sejak kecil, mungkin itu takdirnya. Ataukah sebuah permintaan terakhir kepada Yang Kuasa? Jawaban seandai-andai saya hanya sekedar menjawab keingintahuan dan rasa penasaran saja, karena akan bermakna berbeda bila ditujukan kepada orang lain. Hanya ucapkan selamat jalan dan doa bagi keluarga yang ditinggalkan yang bisa saya berikan kepada teman saya. Kami semua menyayangkan kepergiannya yang begitu mendadak karena dia seorang yang baik hati, tidak sombong dan selalu bersemangat. Tetapi kami tak berkuasa menentang takdir.

Seminggu sebelumnya salah seorang teman saya yang masih muda meninggal karena kanker, minggu depannya orang tua teman lainnya menghembuskan nafas terakhirnya pasca operasi paru-paru. Berikutnya saya kehilangan teman terbaik di klub pingpong juga karena sakit. Sepertinya berturut-turut kehilangan orang-orang yang saya kenal. Di televisi dan koran-koran memberitakan kematian dengan berbagai variasi dan misteri. Kepergian mereka semua begitu mengingatkan saya sebuah pertanyaan yang terus menggelitik pikiran saya tentang sebuah kematian. Kematian terasa begitu dekat.

Apakah yang akan diingat orang setelah kematian?

Tak perlu memperdebatkan bagaimana kehidupan setelah kematian, karena itu bukan bagian saya. Banyak para ahli yang akan berdebat tentang hal ini. Kematian memang tidak bisa dihindarkan, barangkali yang harus direncanakan adalah apa yang akan ditinggalkan setelah kematian. Dan bukan bagaimana cara meninggalkan dunia ini, karena itulah rahasia ilahi antara pelaku dan Tuhan. Akhirnya tinggalkanlah kebaikan dan nama yang bersih mungkin akan semudah kita meninggalkan dunia ini dengan senyuman. Tidak perlu menjadi seorang pahlawan besar yang akan selalu dikenang atau diukir namanya di sebuah tugu. Namun bila hidup telah memberi arti banyak bagi orang lain dan keluarga dengan suri tauladannya pastilah sebuah nama akan sangat sulit dihapuskan dari kenangan dan sejarah.


Jakarta, 27 Juli 2011
Mengenang Pak Martin dan Pak Yoyon, teman  di klub Tenis Meja, Yamaha Motor. Selamat Jalan. Semoga amal ibadahnya diterima di sisi-Nya.

Selasa, 26 Juli 2011

Semangat itu Seperti Obat

Prolog
Saya menuliskan catatan ini sebagai pelunasan hutang tulisan, juga ditujukan untuk. mereka yang sakit, atau memiliki keluarga, saudara atau teman sedang mengalami sakit baik ringan, berat, menahun atau yang tiada berpengharapan sembuh. Karena seberkas cahaya dari lilin terkecil tetap dapat menerangi gulita gelap. Setidaknya selalu ada harapan di tengah badai kehidupan. Mungkin kita belum pernah mengalami sakit keras hingga harus terbaring di rumah sakti selama waktu yang panjang, namun mencegah datangnya sakit mungkin lebih baik dilakukan. Bukan karena obat mahal, tetapi sehat itu mahal.
 
Semangat itu Seperti Obat
Beberapa waktu lalu saya pulang ikut bareng mobil seorang teman. Perjalanan yang seharusnya ditempuh sepuluh menit berubah menjadi setengah jam lebih karena macet menjelang akhir pekan ke arah pulo gadung, Jakarta. Sebenarnya ada pertanyaan yang menganggu benak saya setiap kali bertemu teman saya ini, yang usianya menjelang setengah abad dan baru saja sembuh dari kelumpuhan akibat kena Guillian Barre Syndrome (GBS) selama hampir setengah tahun. Penyakit langka ini menyerang tua dan muda dan mengakibatkan kelumpuhan sementara namun tetapi bisa disembuhkan bila mengkonsumsi obat yang harganya jutaan rupiah per botol kecil dan harus diteguk setiap harinya. Bisa dibayangkan berapa besar biaya pengobatan, sementara asuransi yang diikutinya tidak mau mengcover penyakit langka yang pasti tidak ada dalam klausulnya. Terjawab sudah kegundahan hati saya sore itu melontarkan pertanyaan mungkin sama dengan pertanyaan semua orang yang mengenalnya,  apa rahasianya bisa sembuh kembali”.
 
Saya terkagum-kagum kepadanya seolah dia tidak mengenal kata menderita sakit GBS ini, belum pernah saya lihat dia mengeluh karena penyakitnya. Sebulan lalu saya bertemu dengannya lagi, sekian lama. Dia terlihat sangat kurus dan lambat dalam berjalan atau beraktivitas lainnya. Teman-teman malahan masih menyuruhnya beristirahat lebih lama agar dia lebih cepat sembuh ketimbang keluyuran di kantor. Tetapi dia tersenyum dan menjawab lebih senang bekerja karena dia dapat beraktivitas kembali dan mengusir kejenuhan di rumah. Dan staminanya kembali berangsur pulih dari hari ke hari seperti sedia kala. Saya melihat keajaiban.
 
”Menurut dokter penyakit GBS ini bisa disembuhkan. Jadi saya optimis sembuh. Harapan untuk kembali normal masih ada, dibanding dengan serangan stroke yang pernah saya alami sepuluh tahun lalu. Waktu itu saya sedang tugas di luar kota dan memaksa pulang begitu merasa ada yang tidak beres. Badan saya lumpuh sebelah, tangan sudah tidak bisa digerakkan, saya kena stroke. Saya tidak segera ke dokter begitu sampai di Jakarta, tetapi pulang ke rumah bertemu dengan keluarga dulu. Saya pandang anak bungsu saya yang masih kecil dan berkata dalam hati ’Aku tak mau jadi orang cacat!’ Aku harus sehat untuk anak-anakku Segera saya dirawat di Jakarta.” Semangat hidup untuk melihat anak-anak tumbuh besar dan tidak mau menjadi cacat itulah yang membakar dirinya ketika menjalani perawatan.
 
Saya terharu mendengarnya, sederhana sekali ’semangat sembuh itu seperti obat’, tanpa mengecilkan arti obat dan perawatannya. Selanjutnya cerita bergulir saat-saat dia menjalani perawatan pasca stroke di bangsal rumah sakit. Hanya seminggu terbaring di tempat tidur, dia melatih tubuhnya kembali jalan dan beraktivitas. Dilihatnya sesama pasien masih terbaring selama berbulan-bulan, dia tak ingin berlama-lama karena rasa rindu pada anak-anak. Sampai teman-teman sebangsalnya terutama para keluarga yang menunggu mereka terheran-heran dan bertanya, ”Bagaimana bisa cepat sembuh?” Dia hanya menjabarkan satu hal, ”Penyakit bukan untuk dikasihani, dia harus dilawan dengan semangat sembuh.” Dan tak lama setelah itu dia sudah kembali ke rumah dan bisa bekerja kembali.
 
Keluarga membantu proses penyembuhan
Teman saya meminta sang istrinya merawatnya. Dia meminta istrinya menyuapi dan mengurus segala keperluannya, dan tak mau dilayani suster, alasannya dia bisa bersantai makan, tidak diburu-buru oleh jam kerja suster, berkomunikasi dengan sang istri tentang anak-anak atau berbagai hal selama ”rehat” beraktivitas. Malahan dia pernah bertanya kepada pasien lain, mengapa sang istri tidak menungguinya? Kehadiran istri atau orang yang sangat perduli membantu sekali dalam proses kesembuhan.  Saya terkagum dengan istri dan keluarganya yang sabar dalam merawat kepala keluarga yang sakit dengan penuh kasih sayang. Dan mereka juga obat yang membantu prores kesembuhan bagi penderita sakit.
 
Komunikasi terbatas yang dimiliki penderita stroke kerap kali membuatnya marah karena miss understanding. Penderita stroke tidak dapat berbicara dengan jelas (cadel) sementara komunikan (penerima komunikasi) juga tidak mengerti, di sinilah penderita stroke lekas marah dan justru memperparah atau memperlama proses kesembuhan, karena penderita merasa ”tidak mampu” secara jasmani maupun jiwani. Komunikasi yang diperjelas dan berulang-ulang diperlukan agar penderita stroke dapat membicarakan keinginannya sementara orang lain menjadi mengerti tujuan pembicaraan.
 
Proses kesembuhan tidak sesederhana bermodal  semangat saja, karena seorang yang sakit membutuhkan waktu dan orang lain dalam melewati proses kesembuhan, terutama keluarga dekat atau orang yang dicintai. Melewatkan masa-masa kritis, adaptasi dengan keadaan sakit dan menjalankan terapi sangat dibutuhkan orang-orang tersayang yang membantunya menambah semangat kesembuhan. Dalam keadaan sakit, penderita harus menerima penyakitnya dan mencari jalan keluar penyembuhan bersama keluarga.
 
Perdamaian dengan diri sendiri menerima ketidakmampuan akibat sakit serta meminta pertongan keluarga / teman yang bisa menemani selama proses kesembuhan adalah tindakan yang harus diambil. Menyesali apalagi menangisi kondisi tidak akan menyelesaikan masalah.. Kesabaran dan ketekunan selama proses pengobatan dan terapi membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Komunikasi harus berjalan terus antara penderita dan penjaga agar proses kesembuhan dapat terus dipantau.

Dari ceritanya, saya hanya berkesimpulan bahwa Tuhan tidak akan memberikan penderitaan, ujian atau cobaan melampaui kekuatan manusia. Persoalannya adahal keputusan apa yang kita pilih bila mengalami hal seperti teman saya tadi, menyerah atau melawan. Tidak ada yang mudah melewati masa-masa krisis dan berat tanpa bantuan orang yang perduli dan  mencintainya. Akhirnya saya ucapkan terima kasih dan salut kepada teman saya, bahwa paruh dalam hidupnya harus dilewatkan dengan sakit agar menjadi teladan dan contoh yang baik bagi mereka yang pernah mengalami hal yag sama. Tuhan memberinya ujian agar bisa membagikan ”kunci kesembuhan” kepada orang lain.

Epilog
Pertanyaan saya terjawab sudah, dengan ceritanya. Obat memang benda ajaib yang bisa menyembuhkan berbagai penyakit seiring perkembangan dunia kedokteran yang semakin maju, namun bila tidak dibarengi dengan semangat untuk sembuh, maka obat hanya akan menyembuhkan tubuh sementara saja, dan penyakit bisa kembali lagi kapan saja. Dukungan keluarga atau orang-orang tercinta banyak membantu pasien melewati masa-masa kritis atau menjalani terapi.

Semangat itu seperti vaksin yang menambah kekebalan tubuh terhadap berbagai penyakit. Menjadi bersemangat menjalani hidup setidaknya akan menjauhkan diri dari berbagai penyakit dan menciptakan hidup lebih sehat. Namun janganlah segan atau malu menerima keadaan ”sakit” dan meminta bantuan orang lain dalam proses pemulihan. Menjadi sakit mungkin bukan pilihan, tetapi menjaga kesehatan adalah tindakan bijaksana.

Terima kasih untuk teman saya Bp. Bambang atas sharing-nya. Saya belajar banyak dari Bapak arti sebuah semangat.
Jakarta, 26 Juli 2011

Selasa, 19 Juli 2011

OKNUM


SIKAP hormatnya menunjukkan penghargaan terhadap hak asasi  tersangka. Ia tak mau tergelincir HAM, senjata sakral yang bisa balik menyerangnya. Ia harus mengendalikan diri dan menenangkan hati. Mungkin saja bukan orang sembarangan, bisa saja anak pejabat atau orang yang punya backing.
“Kamu main-main ya...?!” ia membuat senyum. “Saya ulangi lagi... Siapa namamu?”
“Oknum saja...”
“Kalau susat ingat namamu, siapa nama panggilanmu?”
“Oknum juga”
“Saya tidak tanyakan siapa yang menyuruhmu! Sekali lagi dan terakhir... Sebutlah secara lengkap namamu...,” Arif, si polisi tak dapat menaham amarahnya. Makanya merah dan suaranya mulai meledak-ledak. Brengsek! Dia mau coba-coba dengan polisi, rupanya ia harus diajari, bagaimana berhadapan dengan pengegak hukum. Reputasi bagus, tak pernah gagal menangkap dan tak pernah salah tangkap orang. Orang ini tak boleh dikasih hati, jenis seperti merekalah yang selalu mengancam ketentraman masyarakat. Dia pandangi pemuda di depannya, terlihat menyembunyikan sesuatu. Instinct mendorong dia bertindak hati-hati.
“Namamu di akta kelahiran?” sang polisi melanjutkan.
“Oknum. O-K-N-U-M..” suaranya jelas dan lugas. Tak sedikit pun tersirat ketakutan atau kecemasan seperti tersangka lain yang tertangkap di TKP.
“Kamu bukan oknum. Kamu ini provokator. P-R-O-V-O-K-A-T-O-R tahu?”
“Saya Oknum, Pak! Bukan provokator... ibu saya bisa marah kalau Bapak dengan seenaknya mengganti nama anaknya...”
“Kamu nantang saya?” Arif melihat pemuda itu mencoba menakut-nakuti dengan lelucon murahan.
“Bapak tanya siapa nama saya. Saya jawab, Bapak marah...” Mukanya bening dan tulus, tak ada kebohongan dan dosa. Arif meyakinkan diri agar tak tertipu dengan pandangan matanya.
“Karena kamu keminter tahu? Saya belum pada pertanyaan siapa yang menyuruhmu atau siapa dalang intelektual di belakang peristiwa kerusuhan di kota ini....” Ia mulai mencengkeram kerah baju Oknum dengan kasar.
“Apa susahnya menyebutnya namamu... Hah? Jangan paksa saya main kasar ya. Ingat! Bukan hanya kamu yang bisa kasar...” Sang polisi hampir menampar mukanya kalau saja rekannya tak menarik pergelangan tangannya keras.
****
JANGAN main kekerasan, Teman.... Ini zaman reformasi...,” sambut rekan polisi lain penuh kemenangan. Terbersit di kepalanya mengambil alih tugas, meskipun berarti merusak prosedur. Ia tak boleh melepaskan kesempatan bagus untuk jadi sukses. Bisa saja orang ini adalah dalang kerusahuan yang membuat kota lumpuh dan mati dalam sekejap. Masa depannya bakal cemerlang dan daftar riwayat hidupnya akan terisi dengan sejarah penting. Selain itu aku akan ditakuti penjahat, perusuh dan segala jenis pencoleng. Angka kriminalitas akan turun, kalau ia mampu memegang kepala mereka.
Tukang ketik yang bertugas malam ikut bingung. Lima pertanyaan dengan lima jawaban yang berbeda. Ia tak boleh salah ketik hari ini, mungkin saja perkara yang dihadapinya menjadi perkara politik atau kriminal besar. Baunya tercium dari segerombolan wartawan yang menumpuk di depan halaman parkir minta izin meliput. Wajah-wajah mereka tak asing, dengan nama-nama yang  tidak diketahuinya. Tiba-tiba dia ingin seperti petugas reserse yang bisa menanyai dengan pertanyaan sesuka hati dan tak terpuruk dengan mesin ketiknya seperti sekarang.
“Siapa namamu?” tanpa disuruh, rekannya sudah mengambil alih tugas Arif. Arif bengong. Anggukan kepala komandan membuat dia muak. Permainan apa lagi, reformasi apa lagi, ia segera keluar ruangan dengan maki-makian di hati. Gila! Semuanya amburadul, batinnya.
“Oke kita mulai lagi, rileks saja.... siapa namamu?”
“Oknum....”
“Oknum... Nama yang bagus. Catat namanya dengan benar... Masih muda sudah jadi oknum.” Namanya yang aneh dengan tampang terpelajar, jauh dari kategori idiot. Pasit orang tuanya bagian dari rezim lama. Oknum, nama yang sesuai dengan perangai, pembuat onar. Oknur tak berpura-pura gila, waras seratus persen dan mampu secara hukum mempertanggungjawabkan perbuatannya. Suara mesin tik kuno mulai meributkan ruangan.
“Umur?”
“Dua empat...”
“Pekerjaan?”
“Entah apa namanya... Tugas saya ambil uang para pedagang di pasar.”
            “Petugas retribusi pasar? Resmi atau gelap?”
            Nggak tahu. Kalau saya narik uang, mereka memberiknya dengan tersenyum... Tanpa lupa mengingatkan besok saya harus kembali. Mereka ingin pasar selalu aman...”
            “Maksud saya... Bapak bawa karcis nggak?”
            Oknum menggeleng. “Mereka percaya saja...”
            “Baik sedang apa di tempat kejadian atau ceritakan yang kau tahu...!”
            Tukang ketik berpikir keras di depan mesin kebanggaannya yang masa kerjanya lebih dari dua dasawarsa. Sudah mengarat, namun masih terdengar indah laksana musik klasik. Harus diketik pegawai swasta atau negeri? Ia memilih yang kedua, keputusannya tak mungkin keliru. Sudah seratus orang datang di ruangan kemari dan melakukan pekerjaan yang sama.
            Ngopi dan makan pagi di warung Mbok Temu.. sampai mereka membagi-bagikan barang-barang di pasar dengan tertawa bagaikan malaikat menyelamatkan orang miskin....”
****

            SEKILAS Oknum melihat Tono, teman kecilnya yang berkemeja berpasangan dengan dasi bermerek terkenal. Ia sibuk dengan handphone-nya. Penampilannya meyakinkan dan terpelajar dengan keyakinan diri yang kuat dan bersahaja. Anak orang terkaya dan terpandang di tempat Oknum.  Sepuluh tahun lalu, Tono pernah terkencing-kencing di celana saking takutnya dilempari kodok oleh Oknum.
            “Kau Tono bukan?” Tono si tompel itu... ?” Oknum memberanikan diri.
            “Oknum ya?” katanya setelah ingat kodok. Sebentar mereka berpelukan melepaskan kangen diantara mereka. Ia tak bisa membenci oknum, karena ia anak yatim piatu yang jago berhitung dan selalu membantu mengerjakan PR matematika. Berhitung merupakan tugas sehari-hari Oknum di kios Babah A Siu.
            Ngapain ke sini?”
            “Gara-gara kerusuhan tadi. Katanya sih mau dimintai keterangan...”
            “Mereka baik padamu?”
            “Lumayan. Hanya main bentak dan bilang bahwa aku provokator...”
            “Berarti kau butuh pengacara. Aku bisa membantu mendampingimu tanpa bayaran...” ia mengeluarkan selembar kartu nama.
            “Terima kasih banyak...”
            “Kamu masih di tempat dulu?”
            Oknum mengangguk seraya berkata, “Aku mau membayarmu, biar pun sedikit dan tentu tidak sesuai dengan tarifmu... Kalau sudah pakai dasi pasti mahal... Teman-temanku masih di dalam.... kamu juga bisa membantu mereka?”
            “Percayakan kepadaku... Aku bisa membuatmu cepat pulang ke babahmu...  Besok sore datang ke rumah... Segalanya akan beres...”
***
            OKNUM tidak langsung pulang ke rumah. Langkahnya gontai menuju pasar yang porak-poranda. Semuanya hancur, seperti hidupnya dan hidup orang yang dia sayangi, Babah A Siu. Orang-orang lalu lalang membawa barang-barang layaknya milik nenek moyang mereka. Ia mengusir dan mendorong mereka. Tak ada lagi persahabatan dan keadilan ketika hidup mereka terancam. Ia menuju kios Babah A Siu, menyelamatkan yang tersisa, seperti menyelamatkan nyawanya sendiri. Dua puluh empat tahun ia mengabdi kepada juragan sembako. Kini semua tinggal puing-puing.
            Hatinya remuk, semua begitu cepat. Awalnya seorang pemuda mendekati kios kecil milik Babah A dan minta rokok. Babah A Siu menyodorkan sebungkus rokok kretek. Pemuda itu marah dan membentaknya, ”Kok Cuma sebungkus...? Saya minta satu boks..!” Si Babah kembali dengan cepat dengan satu boks rokok. Dan ia pergi meninggalkan kios Babah tanpa uang.
            Babah menahannnya, ”Uangnya?”
            “Siapa yang bilang saya beli?” Ia melenggang ... tanpa kata.
            Terdengar ribut-ribu sampai Oknum datang memukulnya. Berikutnya segerombolan teman-temannya dengan sepasukan orang tak dikenal menghancurkan semua yang ada. Sebentar kerusuhan kemudian menyebar ke seluruh kota. Kata petugas pasar, ada yang menunggangi mereka. Oknum tak mengerti, selama sepuluh tahun ia berbagi daerah dengan mereka, penguasa pasar seberang yang lebih kecil. Tak ada yang tersisa, selain rasa hancur. Ia menendang kardus dan tong yang ada di kakinya.
***
BABAH A Siu menatap kosong berpuluh-puluh porsi masakan di mangkok-mangkok keramik di meja sembayang. Persembahaan leluhur, ia suda melakukan hal itu sejak setengah abad lalu. Adakah moyangnya marah dengan bencana yang ia terima. Mampukan mereka bisa merasakan kesusahan dan kesedihan yang melanda. Ia hanya bisa bersyukur kalau anak perempuannya tak kena jarah. Cukup toko dan gudangnya.
“Bah... A Siu... Oknum bawa Babi Cap Gomeh... Babah...” Oknum mengetuk pintu rumahnya keras. Tak ada jawaban. Oknum masuk ke rumahnya mau minta maaf, tak bisa menjaga tokonya dan membalas budi.
“Bah,  Oknum mau minta maaf. Ini Oknum bawain kesukaan Babah. ..” mendadak Babah menengok dan tersenyum. Oknum hampir menabrak meja sembahyang. Astaga, ia lupa hahwa hari ini tahun baru Imlek.
“Si Babah tahun baruan?”
“Num,...” Si Babah tak bisa ngomong.
            “Sudahlah Bah,... kata babah rezeki nggak kemana. Nanti kalau sudah aman kita bangun lagi kiosnya... Kalau saja tak kupukul mereka...” katanya penuh rasa bersalah. Si Babah mengangguk. Oknum jadi kasihan.
            “Mestinya Babah ngucapin terima kasih. Sebenarnya babah mau ngasih kami sepeda di gudang pasar, tetapi semuanya...” Ia tak bisa menahan tangisnya. Tak ada hadiah tahun baru lagi. Oknum sudah dianggap anaknya sendiri. Kasihan kalau Oknum mesti bolak-balik pasar, mengambil barang yang tertinggal. Setiap hari ada saja acara ketinggalan barang, dari kunci, kaca mata sampai topi.
            Ia ingat utangnya yang sekarang bisa dia bayar sekarang, sebelum ia pergi ke negerinya untuk sementara waktu sampai keadaan normal. Ia hendak menceritahakan suatu rahasia. Sudah saatnya Oknum tahu asal-asulnya.
            “Kamu mau tahu keluargamu?” Oknum belum sempat mengangguk ketika si Babah sudah tenggelam dalam ceritanya, ”Dulu ibumu itu kembang di kota ini, sampai kejadian pejabat pusat meresmikan pasar kita. Sudah jadi kebiasaan kalau ada pejabat yang sowan, disuguhi perwan di sini. Kepla daerah waktu itu memilih ibumu melayani pejabat itu, kemudian lahirlah kau. Ibumu meninggal saat persalinan dan dalam penderitaan ia menitipkanmu... ”
            “Jadi siapa babakku, Bah?”
            “Pejabat yang lagi diributin di TV itu.” Si Babah masuk ke kamarnya menutupi rasa sedihnya untuk tidur. Pikirannya benar-benar kalut.
***
            “HARUS seperti kerusuhan biasa...” dia tersenyum. “Kalian hebat. Semua korban memintaku mendampingi mereka. Semakin banyak penderitaan dan kesalahan polisi, semakin banyak berita yang bisa dibuat. Semakin seru cerita bangsa ini.... Ini bagian kalian... ingat perjanjian kita...” terdengar orang tertawa puas. Oknum mendengarkan dengan seksama. Ia mengenal suara itu dan segera berlari kencang ketika salah seorang dari mereka memergokinya.

Diterbitkan di Suara Pembaharuan, 16 Mei 2011