Laman

Selasa, 26 Juli 2011

Semangat itu Seperti Obat

Prolog
Saya menuliskan catatan ini sebagai pelunasan hutang tulisan, juga ditujukan untuk. mereka yang sakit, atau memiliki keluarga, saudara atau teman sedang mengalami sakit baik ringan, berat, menahun atau yang tiada berpengharapan sembuh. Karena seberkas cahaya dari lilin terkecil tetap dapat menerangi gulita gelap. Setidaknya selalu ada harapan di tengah badai kehidupan. Mungkin kita belum pernah mengalami sakit keras hingga harus terbaring di rumah sakti selama waktu yang panjang, namun mencegah datangnya sakit mungkin lebih baik dilakukan. Bukan karena obat mahal, tetapi sehat itu mahal.
 
Semangat itu Seperti Obat
Beberapa waktu lalu saya pulang ikut bareng mobil seorang teman. Perjalanan yang seharusnya ditempuh sepuluh menit berubah menjadi setengah jam lebih karena macet menjelang akhir pekan ke arah pulo gadung, Jakarta. Sebenarnya ada pertanyaan yang menganggu benak saya setiap kali bertemu teman saya ini, yang usianya menjelang setengah abad dan baru saja sembuh dari kelumpuhan akibat kena Guillian Barre Syndrome (GBS) selama hampir setengah tahun. Penyakit langka ini menyerang tua dan muda dan mengakibatkan kelumpuhan sementara namun tetapi bisa disembuhkan bila mengkonsumsi obat yang harganya jutaan rupiah per botol kecil dan harus diteguk setiap harinya. Bisa dibayangkan berapa besar biaya pengobatan, sementara asuransi yang diikutinya tidak mau mengcover penyakit langka yang pasti tidak ada dalam klausulnya. Terjawab sudah kegundahan hati saya sore itu melontarkan pertanyaan mungkin sama dengan pertanyaan semua orang yang mengenalnya,  apa rahasianya bisa sembuh kembali”.
 
Saya terkagum-kagum kepadanya seolah dia tidak mengenal kata menderita sakit GBS ini, belum pernah saya lihat dia mengeluh karena penyakitnya. Sebulan lalu saya bertemu dengannya lagi, sekian lama. Dia terlihat sangat kurus dan lambat dalam berjalan atau beraktivitas lainnya. Teman-teman malahan masih menyuruhnya beristirahat lebih lama agar dia lebih cepat sembuh ketimbang keluyuran di kantor. Tetapi dia tersenyum dan menjawab lebih senang bekerja karena dia dapat beraktivitas kembali dan mengusir kejenuhan di rumah. Dan staminanya kembali berangsur pulih dari hari ke hari seperti sedia kala. Saya melihat keajaiban.
 
”Menurut dokter penyakit GBS ini bisa disembuhkan. Jadi saya optimis sembuh. Harapan untuk kembali normal masih ada, dibanding dengan serangan stroke yang pernah saya alami sepuluh tahun lalu. Waktu itu saya sedang tugas di luar kota dan memaksa pulang begitu merasa ada yang tidak beres. Badan saya lumpuh sebelah, tangan sudah tidak bisa digerakkan, saya kena stroke. Saya tidak segera ke dokter begitu sampai di Jakarta, tetapi pulang ke rumah bertemu dengan keluarga dulu. Saya pandang anak bungsu saya yang masih kecil dan berkata dalam hati ’Aku tak mau jadi orang cacat!’ Aku harus sehat untuk anak-anakku Segera saya dirawat di Jakarta.” Semangat hidup untuk melihat anak-anak tumbuh besar dan tidak mau menjadi cacat itulah yang membakar dirinya ketika menjalani perawatan.
 
Saya terharu mendengarnya, sederhana sekali ’semangat sembuh itu seperti obat’, tanpa mengecilkan arti obat dan perawatannya. Selanjutnya cerita bergulir saat-saat dia menjalani perawatan pasca stroke di bangsal rumah sakit. Hanya seminggu terbaring di tempat tidur, dia melatih tubuhnya kembali jalan dan beraktivitas. Dilihatnya sesama pasien masih terbaring selama berbulan-bulan, dia tak ingin berlama-lama karena rasa rindu pada anak-anak. Sampai teman-teman sebangsalnya terutama para keluarga yang menunggu mereka terheran-heran dan bertanya, ”Bagaimana bisa cepat sembuh?” Dia hanya menjabarkan satu hal, ”Penyakit bukan untuk dikasihani, dia harus dilawan dengan semangat sembuh.” Dan tak lama setelah itu dia sudah kembali ke rumah dan bisa bekerja kembali.
 
Keluarga membantu proses penyembuhan
Teman saya meminta sang istrinya merawatnya. Dia meminta istrinya menyuapi dan mengurus segala keperluannya, dan tak mau dilayani suster, alasannya dia bisa bersantai makan, tidak diburu-buru oleh jam kerja suster, berkomunikasi dengan sang istri tentang anak-anak atau berbagai hal selama ”rehat” beraktivitas. Malahan dia pernah bertanya kepada pasien lain, mengapa sang istri tidak menungguinya? Kehadiran istri atau orang yang sangat perduli membantu sekali dalam proses kesembuhan.  Saya terkagum dengan istri dan keluarganya yang sabar dalam merawat kepala keluarga yang sakit dengan penuh kasih sayang. Dan mereka juga obat yang membantu prores kesembuhan bagi penderita sakit.
 
Komunikasi terbatas yang dimiliki penderita stroke kerap kali membuatnya marah karena miss understanding. Penderita stroke tidak dapat berbicara dengan jelas (cadel) sementara komunikan (penerima komunikasi) juga tidak mengerti, di sinilah penderita stroke lekas marah dan justru memperparah atau memperlama proses kesembuhan, karena penderita merasa ”tidak mampu” secara jasmani maupun jiwani. Komunikasi yang diperjelas dan berulang-ulang diperlukan agar penderita stroke dapat membicarakan keinginannya sementara orang lain menjadi mengerti tujuan pembicaraan.
 
Proses kesembuhan tidak sesederhana bermodal  semangat saja, karena seorang yang sakit membutuhkan waktu dan orang lain dalam melewati proses kesembuhan, terutama keluarga dekat atau orang yang dicintai. Melewatkan masa-masa kritis, adaptasi dengan keadaan sakit dan menjalankan terapi sangat dibutuhkan orang-orang tersayang yang membantunya menambah semangat kesembuhan. Dalam keadaan sakit, penderita harus menerima penyakitnya dan mencari jalan keluar penyembuhan bersama keluarga.
 
Perdamaian dengan diri sendiri menerima ketidakmampuan akibat sakit serta meminta pertongan keluarga / teman yang bisa menemani selama proses kesembuhan adalah tindakan yang harus diambil. Menyesali apalagi menangisi kondisi tidak akan menyelesaikan masalah.. Kesabaran dan ketekunan selama proses pengobatan dan terapi membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Komunikasi harus berjalan terus antara penderita dan penjaga agar proses kesembuhan dapat terus dipantau.

Dari ceritanya, saya hanya berkesimpulan bahwa Tuhan tidak akan memberikan penderitaan, ujian atau cobaan melampaui kekuatan manusia. Persoalannya adahal keputusan apa yang kita pilih bila mengalami hal seperti teman saya tadi, menyerah atau melawan. Tidak ada yang mudah melewati masa-masa krisis dan berat tanpa bantuan orang yang perduli dan  mencintainya. Akhirnya saya ucapkan terima kasih dan salut kepada teman saya, bahwa paruh dalam hidupnya harus dilewatkan dengan sakit agar menjadi teladan dan contoh yang baik bagi mereka yang pernah mengalami hal yag sama. Tuhan memberinya ujian agar bisa membagikan ”kunci kesembuhan” kepada orang lain.

Epilog
Pertanyaan saya terjawab sudah, dengan ceritanya. Obat memang benda ajaib yang bisa menyembuhkan berbagai penyakit seiring perkembangan dunia kedokteran yang semakin maju, namun bila tidak dibarengi dengan semangat untuk sembuh, maka obat hanya akan menyembuhkan tubuh sementara saja, dan penyakit bisa kembali lagi kapan saja. Dukungan keluarga atau orang-orang tercinta banyak membantu pasien melewati masa-masa kritis atau menjalani terapi.

Semangat itu seperti vaksin yang menambah kekebalan tubuh terhadap berbagai penyakit. Menjadi bersemangat menjalani hidup setidaknya akan menjauhkan diri dari berbagai penyakit dan menciptakan hidup lebih sehat. Namun janganlah segan atau malu menerima keadaan ”sakit” dan meminta bantuan orang lain dalam proses pemulihan. Menjadi sakit mungkin bukan pilihan, tetapi menjaga kesehatan adalah tindakan bijaksana.

Terima kasih untuk teman saya Bp. Bambang atas sharing-nya. Saya belajar banyak dari Bapak arti sebuah semangat.
Jakarta, 26 Juli 2011

2 komentar:

  1. Kata Amsal yang bijak: Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang

    Berbagi cerita di: http:rynari.wordpress.com

    Salam

    BalasHapus
  2. saya suka amsal ini. Obat yang paling mujarab melewati masa yang sulit atau menikmati hidup adl membuat hati dalam kondisi selalu gembira meskipun tidak ada alasan untuk bergembira. Gembira adl sikap riil menerima segala sesuatu dan bukan harapan yang datang bila telah melakukan atau mendapatkan sesuatu. Terima kasih pak...

    BalasHapus