Laman

Selasa, 19 Juli 2011

OKNUM


SIKAP hormatnya menunjukkan penghargaan terhadap hak asasi  tersangka. Ia tak mau tergelincir HAM, senjata sakral yang bisa balik menyerangnya. Ia harus mengendalikan diri dan menenangkan hati. Mungkin saja bukan orang sembarangan, bisa saja anak pejabat atau orang yang punya backing.
“Kamu main-main ya...?!” ia membuat senyum. “Saya ulangi lagi... Siapa namamu?”
“Oknum saja...”
“Kalau susat ingat namamu, siapa nama panggilanmu?”
“Oknum juga”
“Saya tidak tanyakan siapa yang menyuruhmu! Sekali lagi dan terakhir... Sebutlah secara lengkap namamu...,” Arif, si polisi tak dapat menaham amarahnya. Makanya merah dan suaranya mulai meledak-ledak. Brengsek! Dia mau coba-coba dengan polisi, rupanya ia harus diajari, bagaimana berhadapan dengan pengegak hukum. Reputasi bagus, tak pernah gagal menangkap dan tak pernah salah tangkap orang. Orang ini tak boleh dikasih hati, jenis seperti merekalah yang selalu mengancam ketentraman masyarakat. Dia pandangi pemuda di depannya, terlihat menyembunyikan sesuatu. Instinct mendorong dia bertindak hati-hati.
“Namamu di akta kelahiran?” sang polisi melanjutkan.
“Oknum. O-K-N-U-M..” suaranya jelas dan lugas. Tak sedikit pun tersirat ketakutan atau kecemasan seperti tersangka lain yang tertangkap di TKP.
“Kamu bukan oknum. Kamu ini provokator. P-R-O-V-O-K-A-T-O-R tahu?”
“Saya Oknum, Pak! Bukan provokator... ibu saya bisa marah kalau Bapak dengan seenaknya mengganti nama anaknya...”
“Kamu nantang saya?” Arif melihat pemuda itu mencoba menakut-nakuti dengan lelucon murahan.
“Bapak tanya siapa nama saya. Saya jawab, Bapak marah...” Mukanya bening dan tulus, tak ada kebohongan dan dosa. Arif meyakinkan diri agar tak tertipu dengan pandangan matanya.
“Karena kamu keminter tahu? Saya belum pada pertanyaan siapa yang menyuruhmu atau siapa dalang intelektual di belakang peristiwa kerusuhan di kota ini....” Ia mulai mencengkeram kerah baju Oknum dengan kasar.
“Apa susahnya menyebutnya namamu... Hah? Jangan paksa saya main kasar ya. Ingat! Bukan hanya kamu yang bisa kasar...” Sang polisi hampir menampar mukanya kalau saja rekannya tak menarik pergelangan tangannya keras.
****
JANGAN main kekerasan, Teman.... Ini zaman reformasi...,” sambut rekan polisi lain penuh kemenangan. Terbersit di kepalanya mengambil alih tugas, meskipun berarti merusak prosedur. Ia tak boleh melepaskan kesempatan bagus untuk jadi sukses. Bisa saja orang ini adalah dalang kerusahuan yang membuat kota lumpuh dan mati dalam sekejap. Masa depannya bakal cemerlang dan daftar riwayat hidupnya akan terisi dengan sejarah penting. Selain itu aku akan ditakuti penjahat, perusuh dan segala jenis pencoleng. Angka kriminalitas akan turun, kalau ia mampu memegang kepala mereka.
Tukang ketik yang bertugas malam ikut bingung. Lima pertanyaan dengan lima jawaban yang berbeda. Ia tak boleh salah ketik hari ini, mungkin saja perkara yang dihadapinya menjadi perkara politik atau kriminal besar. Baunya tercium dari segerombolan wartawan yang menumpuk di depan halaman parkir minta izin meliput. Wajah-wajah mereka tak asing, dengan nama-nama yang  tidak diketahuinya. Tiba-tiba dia ingin seperti petugas reserse yang bisa menanyai dengan pertanyaan sesuka hati dan tak terpuruk dengan mesin ketiknya seperti sekarang.
“Siapa namamu?” tanpa disuruh, rekannya sudah mengambil alih tugas Arif. Arif bengong. Anggukan kepala komandan membuat dia muak. Permainan apa lagi, reformasi apa lagi, ia segera keluar ruangan dengan maki-makian di hati. Gila! Semuanya amburadul, batinnya.
“Oke kita mulai lagi, rileks saja.... siapa namamu?”
“Oknum....”
“Oknum... Nama yang bagus. Catat namanya dengan benar... Masih muda sudah jadi oknum.” Namanya yang aneh dengan tampang terpelajar, jauh dari kategori idiot. Pasit orang tuanya bagian dari rezim lama. Oknum, nama yang sesuai dengan perangai, pembuat onar. Oknur tak berpura-pura gila, waras seratus persen dan mampu secara hukum mempertanggungjawabkan perbuatannya. Suara mesin tik kuno mulai meributkan ruangan.
“Umur?”
“Dua empat...”
“Pekerjaan?”
“Entah apa namanya... Tugas saya ambil uang para pedagang di pasar.”
            “Petugas retribusi pasar? Resmi atau gelap?”
            Nggak tahu. Kalau saya narik uang, mereka memberiknya dengan tersenyum... Tanpa lupa mengingatkan besok saya harus kembali. Mereka ingin pasar selalu aman...”
            “Maksud saya... Bapak bawa karcis nggak?”
            Oknum menggeleng. “Mereka percaya saja...”
            “Baik sedang apa di tempat kejadian atau ceritakan yang kau tahu...!”
            Tukang ketik berpikir keras di depan mesin kebanggaannya yang masa kerjanya lebih dari dua dasawarsa. Sudah mengarat, namun masih terdengar indah laksana musik klasik. Harus diketik pegawai swasta atau negeri? Ia memilih yang kedua, keputusannya tak mungkin keliru. Sudah seratus orang datang di ruangan kemari dan melakukan pekerjaan yang sama.
            Ngopi dan makan pagi di warung Mbok Temu.. sampai mereka membagi-bagikan barang-barang di pasar dengan tertawa bagaikan malaikat menyelamatkan orang miskin....”
****

            SEKILAS Oknum melihat Tono, teman kecilnya yang berkemeja berpasangan dengan dasi bermerek terkenal. Ia sibuk dengan handphone-nya. Penampilannya meyakinkan dan terpelajar dengan keyakinan diri yang kuat dan bersahaja. Anak orang terkaya dan terpandang di tempat Oknum.  Sepuluh tahun lalu, Tono pernah terkencing-kencing di celana saking takutnya dilempari kodok oleh Oknum.
            “Kau Tono bukan?” Tono si tompel itu... ?” Oknum memberanikan diri.
            “Oknum ya?” katanya setelah ingat kodok. Sebentar mereka berpelukan melepaskan kangen diantara mereka. Ia tak bisa membenci oknum, karena ia anak yatim piatu yang jago berhitung dan selalu membantu mengerjakan PR matematika. Berhitung merupakan tugas sehari-hari Oknum di kios Babah A Siu.
            Ngapain ke sini?”
            “Gara-gara kerusuhan tadi. Katanya sih mau dimintai keterangan...”
            “Mereka baik padamu?”
            “Lumayan. Hanya main bentak dan bilang bahwa aku provokator...”
            “Berarti kau butuh pengacara. Aku bisa membantu mendampingimu tanpa bayaran...” ia mengeluarkan selembar kartu nama.
            “Terima kasih banyak...”
            “Kamu masih di tempat dulu?”
            Oknum mengangguk seraya berkata, “Aku mau membayarmu, biar pun sedikit dan tentu tidak sesuai dengan tarifmu... Kalau sudah pakai dasi pasti mahal... Teman-temanku masih di dalam.... kamu juga bisa membantu mereka?”
            “Percayakan kepadaku... Aku bisa membuatmu cepat pulang ke babahmu...  Besok sore datang ke rumah... Segalanya akan beres...”
***
            OKNUM tidak langsung pulang ke rumah. Langkahnya gontai menuju pasar yang porak-poranda. Semuanya hancur, seperti hidupnya dan hidup orang yang dia sayangi, Babah A Siu. Orang-orang lalu lalang membawa barang-barang layaknya milik nenek moyang mereka. Ia mengusir dan mendorong mereka. Tak ada lagi persahabatan dan keadilan ketika hidup mereka terancam. Ia menuju kios Babah A Siu, menyelamatkan yang tersisa, seperti menyelamatkan nyawanya sendiri. Dua puluh empat tahun ia mengabdi kepada juragan sembako. Kini semua tinggal puing-puing.
            Hatinya remuk, semua begitu cepat. Awalnya seorang pemuda mendekati kios kecil milik Babah A dan minta rokok. Babah A Siu menyodorkan sebungkus rokok kretek. Pemuda itu marah dan membentaknya, ”Kok Cuma sebungkus...? Saya minta satu boks..!” Si Babah kembali dengan cepat dengan satu boks rokok. Dan ia pergi meninggalkan kios Babah tanpa uang.
            Babah menahannnya, ”Uangnya?”
            “Siapa yang bilang saya beli?” Ia melenggang ... tanpa kata.
            Terdengar ribut-ribu sampai Oknum datang memukulnya. Berikutnya segerombolan teman-temannya dengan sepasukan orang tak dikenal menghancurkan semua yang ada. Sebentar kerusuhan kemudian menyebar ke seluruh kota. Kata petugas pasar, ada yang menunggangi mereka. Oknum tak mengerti, selama sepuluh tahun ia berbagi daerah dengan mereka, penguasa pasar seberang yang lebih kecil. Tak ada yang tersisa, selain rasa hancur. Ia menendang kardus dan tong yang ada di kakinya.
***
BABAH A Siu menatap kosong berpuluh-puluh porsi masakan di mangkok-mangkok keramik di meja sembayang. Persembahaan leluhur, ia suda melakukan hal itu sejak setengah abad lalu. Adakah moyangnya marah dengan bencana yang ia terima. Mampukan mereka bisa merasakan kesusahan dan kesedihan yang melanda. Ia hanya bisa bersyukur kalau anak perempuannya tak kena jarah. Cukup toko dan gudangnya.
“Bah... A Siu... Oknum bawa Babi Cap Gomeh... Babah...” Oknum mengetuk pintu rumahnya keras. Tak ada jawaban. Oknum masuk ke rumahnya mau minta maaf, tak bisa menjaga tokonya dan membalas budi.
“Bah,  Oknum mau minta maaf. Ini Oknum bawain kesukaan Babah. ..” mendadak Babah menengok dan tersenyum. Oknum hampir menabrak meja sembahyang. Astaga, ia lupa hahwa hari ini tahun baru Imlek.
“Si Babah tahun baruan?”
“Num,...” Si Babah tak bisa ngomong.
            “Sudahlah Bah,... kata babah rezeki nggak kemana. Nanti kalau sudah aman kita bangun lagi kiosnya... Kalau saja tak kupukul mereka...” katanya penuh rasa bersalah. Si Babah mengangguk. Oknum jadi kasihan.
            “Mestinya Babah ngucapin terima kasih. Sebenarnya babah mau ngasih kami sepeda di gudang pasar, tetapi semuanya...” Ia tak bisa menahan tangisnya. Tak ada hadiah tahun baru lagi. Oknum sudah dianggap anaknya sendiri. Kasihan kalau Oknum mesti bolak-balik pasar, mengambil barang yang tertinggal. Setiap hari ada saja acara ketinggalan barang, dari kunci, kaca mata sampai topi.
            Ia ingat utangnya yang sekarang bisa dia bayar sekarang, sebelum ia pergi ke negerinya untuk sementara waktu sampai keadaan normal. Ia hendak menceritahakan suatu rahasia. Sudah saatnya Oknum tahu asal-asulnya.
            “Kamu mau tahu keluargamu?” Oknum belum sempat mengangguk ketika si Babah sudah tenggelam dalam ceritanya, ”Dulu ibumu itu kembang di kota ini, sampai kejadian pejabat pusat meresmikan pasar kita. Sudah jadi kebiasaan kalau ada pejabat yang sowan, disuguhi perwan di sini. Kepla daerah waktu itu memilih ibumu melayani pejabat itu, kemudian lahirlah kau. Ibumu meninggal saat persalinan dan dalam penderitaan ia menitipkanmu... ”
            “Jadi siapa babakku, Bah?”
            “Pejabat yang lagi diributin di TV itu.” Si Babah masuk ke kamarnya menutupi rasa sedihnya untuk tidur. Pikirannya benar-benar kalut.
***
            “HARUS seperti kerusuhan biasa...” dia tersenyum. “Kalian hebat. Semua korban memintaku mendampingi mereka. Semakin banyak penderitaan dan kesalahan polisi, semakin banyak berita yang bisa dibuat. Semakin seru cerita bangsa ini.... Ini bagian kalian... ingat perjanjian kita...” terdengar orang tertawa puas. Oknum mendengarkan dengan seksama. Ia mengenal suara itu dan segera berlari kencang ketika salah seorang dari mereka memergokinya.

Diterbitkan di Suara Pembaharuan, 16 Mei 2011




2 komentar:

  1. revisi seharusnya 16 Mei 1999, bukan 2011. Terima kasih

    BalasHapus
  2. Duh dalem banget sketsa sosial ini. Salut. :)
    Sketsa interaksi sosial dalam keragaman etnisitas/rasial ada di beberapa bab ebook saya: http://issuu.com/antyo/docs/kedai-merahh-antyo

    BalasHapus