Gagal dulu baru berhasil, itu hal biasa. Berhasil lebih dulu ketimbang gagal, pastilah luar biasa. Bisa ditebak bahwa berhasilnya pasti bukan karena usahanya tetapi mungkin hasil pemberian orang lain atau faktor keberuntungan. Lewatilah proses gagal dulu setelah itu berhasil dengan berbesar hati tanpa mematahkan semangat.
Hari ini, berita kegagalan sayembara menulis di sebuah majalah wanita bergengsi yang saya ikuti harus dimaknai dengan kepala dingin. Semesatinya saya merasa kecewa dan marah dengan pencapaian ini, meskipun jauh-jauh sebelumnya sudah bisa ditebak hasil usaha ini akan menemui kegagalan, mengingat jam terbang saya dalam dunia tulis menulis masih sangat jauh dari standar yang diharapkan majalah gaya hidup ini. Sebagai peserta underdog, saya hanya bermodalkan tantangan pada diri sendiri akan menulis setelah empat tahun keinginan ini hanya tertidur di benak saya, padahal kompetisi ini dilaksanakan setiap tahun dan saya baru bisa mewujudkannya tahun ini. Sayang sekali rasanya melewatkan kesempatan meraih kemenangan. Tapi apa mau dikata, kenyataan berbicara lain.
Kegentaran hati saat mengerjakannya menjadi kebimbangan tersendiri, setidaknya saya sudah pernah mencicipi dan merasa lebih lega dengan kebesaran hati saya melihat kenyataan ini. Dengan kesadaran ini saya mereguk kegagalan dengan penuh ketenangan merangkul slogan nothing to lose. Menang syukur kalah ya biasa, begitu pikiran saya selalu. Tidak ada yang dirugikan selain latihan berdisiplin dalam menulis, berani berkompetisi dan tidak membelanjakan waktu dan pikiran bagi hal lain yang mungkin lebih atau tidak produktif. Keputusan untuk menggeluti dunia yang menantang dari masa remaja tanpa mengesampingkan berbagai status menjadi tantangan tersendiri.
Kompetisi-kompetisi pencarian bakat atau menyanyi di televisi terkadang secara kejam menayangkan para peserta yang sangat-sangat tidak berbakat (baca: payah dan parah) dan menjadi bahan tertawaan hanya untuk menaikkan rating acaranya. Tanpa sadar mereka telah berperan membunuh bakat dan kompetensi seseorang. Padahal mereka telah berbesar hati mempersiapkan diri dengan penuh keyakinan mengikuti audisi yang memakan waktu seharian dan penuh perjuangan jalan menuju audisi. Kita bahkan ikut menertawakan “keterbatasan” dan kegagalan mereka, tetapi harus bersalut dengan keberhasilan mereka mengikuti audisi yang belum tentu bagi mereka yang berbakat (lebih baik) berani berkompetisi. Saya berusaha menempatkan diri sebagai bagian dari mereka, tapi bukan di garis yang sangat parah dan tidak berbakat, tetapi di barisan cukup bagus atau kurang latihan saja. Untungnya kompetisi ini tidak ditayangkan di media televisi, jadi tidak ada orang yang menertawakan usaha mati-matian saya.
Sudah pasti akan ada akan ada orang yang akan menertawakan usaha saya, karena kekuranganberbakatan dengan memaksakan diri menulis bermodal tema dan kalimat “pas-pasan”. Kelihaian dalam suatu bidang tidaklah turun dari langit, tetapi digodok dalam proses panjang, saya masih harus banyak belajar dan berlatih terus menerus mengasah bakat dan kemampuan demi pencapaian sebuah mimpi. Emas hanya akan menjadi murni bila telah dibakar dalam panas ribuan celcius. Tanpa proses panjang dan melelahkan tidak akan tercipta kemurnian emas. Imitasi dicontek dari kemurnian dan keaslian barang berharga, dijual murah dan mudah didapatkan. Tentukan proses apa yang akan dipilih, menjadi emas atau sekedar barang imitasi yang mudah dilupakan.
Terkadang kegagalan menuai ejekan. Tanpa ejekan mungkin seseorang tidak terpacu menjadi lebih baik. Jangan pandang ejekan sebagai tindakan mengecilkan seseorang. Justru ejekan harus menjadi dinamit dengan daya ledak besar menghancurkan segala penghalang keberhasilan. Ejekan harus menghasilkan keberhasilan setelah rangkaian kegagalan. Berusaha tidak mencari pembenaran diri dan menyalahkan berbagai hal sebagai penyebab kegagalan adalah sikap seorang yang dewasa, tetapi mereka yang kekanak-kanakan sibuk mencari kambing hitam.
Saya membagikan kegagalan ini sebagai kebelumberhasilan, bukan menertawakan diri atau membesarkan pencapaian yang telah diraih. Kegagalan satu bidang tidak berarti kegagalan dalam seluruh segi kehidupan. Seperti kasus saya, hanya pada aspek tulis menulis yang memang tidak saya kuasai benar-benar dan sebuah kewajaran bila belum membuahkan hasil. Saya tidak merasa gagal dalam sisi hidup yang lain dan percaya bahwa setiap orang memiliki potensi dan bakat berbeda dalam mengeksporasi hidup. Diperlukan latihan dan proses belajar terus menerus bila seseorang mengharapkan pencapaian yang lebih tinggi, untuk menjadi ahli dalam bidang tetentu diperlukan jam terbang tinggi. Tentu berpuas diri menjadi kendala keberhasilan lebih tinggi.
Setiap orang pasti pernah gagal dan berhasil, terpuruk dan sukses, dua kutub yang selalu bertolak belakang. Namun sebagian dari kita mungkin diciptakan dari dunia yang selalu memandang hasil dan tidak melihat proses. Bila tidak mencapai target atau hasil tertentu maka dianggap gagal dalam hidup atau tidak sukses. Marilah ubah cara pandang ini. Jangan menertawakan kegagalan orang lain, belum tentu kita dapat melakukan hal yang sama seperti yang telah dilakukannya. Pandanglah hidup dengan cara menerima kegagalan sebagai hal biasa dan menganggapnya sebagai latihan bagi kesuksesan berikutnya. Setiap orang membutuhkan waktu yang tidak sama untuk memahami arti kegagalan dan keberhasilan dalam hidup.
Mencoba dan gagal adalah keberhasilan, setidaknya pergerakan melewati keterdiaman, melakukan usaha atau tidak berada di titik nol selamanya. Tidak mencoba pastilah membuahkan kegagalannya, tidak ada hal yang dilakukan. Hidup adalah sikap menerima dan mensiasati setiap kegagalan maupun keberhasilan. Selebihnya hanya persoalan hasil dan nilai dalam skala sosial ekonomi yang diterima dalam masyarakat. Lebih mudah menikmati keberhasilan dari pada melewati kegagalan. Itu sudah hukum alam.
Tetap semangatlah, karena hidup adalah perjuangan tanpa henti-henti. Bila tidak ada hal yang diperjuangkan lagi, maka berhentilah untuk hidup karena hanya kematian dan kekosongan yang sedang dijalani. Keberhasilan hari ini adalah hasil dari serangkaian kegagalan di masa lalu. Jangan pernah merasa jatuh akibat kegagalan dan berpuas diri dengan keberhasilan. Kegagalan memaksa kita mengejar keberhasilan sebagai anugerah dan rasa syukur atas hasil yang telah diupayakan.
Kegagalan dan keberhasilan seperti dua sisi mata uang, tergantung bagaimana kita memandangnya. Harapan saya semoga kita selalu bersikap bijaksana menyikapi dua kutub ini.
Renungan Harian Bogor - Jakarta
Jakarta 27 November 2011